Paulo Freire: Kesadaran Kritis Membuka Jalan Menuju Tindakan Sosial yang Bermakna

"Pedagogy of the Oppressed" – Paulo Freire
"Pedagogy of the Oppressed" – Paulo Freire
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA - Pernyataan ini datang dari Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil yang telah menginspirasi dunia dengan pemikirannya tentang pendidikan yang membebaskan. Kutipan tersebut bukan sekadar teori, tetapi cerminan dari perjuangannya membangun sebuah pendekatan pendidikan yang berpihak kepada kaum tertindas dan termarjinalkan.

Melalui pendekatan yang disebutnya sebagai pedagogi pembebasan, Freire memperkenalkan konsep kesadaran kritis (critical consciousness atau conscientização) yang hingga kini tetap relevan, terutama di tengah kompleksitas persoalan sosial yang melingkupi masyarakat global, termasuk Indonesia.

Apa Itu Kesadaran Kritis?

Kesadaran kritis, menurut Freire, adalah kemampuan seseorang untuk memahami secara mendalam kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang membentuk kehidupannya, serta mengembangkan keberanian untuk mengubah kondisi tersebut.

Berbeda dengan pengetahuan biasa yang cenderung bersifat pasif, kesadaran kritis mendorong tindakan aktif. Ketika seseorang sadar bahwa kemiskinan, ketimpangan, dan ketidakadilan bukanlah nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan hasil dari sistem yang bisa diubah, maka ia menjadi agen perubahan, bukan korban keadaan.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya soal menghafal rumus dan teori. Pendidikan adalah alat untuk memahami dunia dan membentuknya kembali agar lebih adil, manusiawi, dan inklusif.

Pendidikan dan Realitas Sosial

Bagi Freire, pendidikan tidak boleh netral. Ia menyatakan bahwa setiap pendidikan pasti berpihak—entah kepada penindas atau kepada yang tertindas. Maka, tugas utama pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis dalam diri peserta didik, agar mereka memahami realitas sosial dan tidak menjadi bagian dari struktur yang menindas.

Hal ini terlihat jelas dalam karyanya yang terkenal, Pedagogy of the Oppressed, di mana Freire mengkritik sistem pendidikan yang ia sebut sebagai “pendidikan gaya bank.” Dalam sistem ini, guru menjadi sosok dominan yang “menabungkan” pengetahuan ke dalam pikiran murid yang dianggap kosong. Murid hanya menjadi penerima pasif, bukan pencipta makna.

Sebaliknya, Freire mengusulkan pendekatan dialogis. Guru dan murid harus berdialog sebagai subjek yang setara, saling belajar, dan bersama-sama merefleksikan dunia. Melalui refleksi ini, kesadaran kritis akan tumbuh dan mendorong tindakan transformatif.

Mengapa Kesadaran Kritis Penting di Indonesia?

Di Indonesia, tantangan pendidikan bukan hanya soal infrastruktur atau akses, tetapi juga soal isi dan metode pembelajaran. Banyak siswa diajarkan untuk menghafal jawaban, bukan mempertanyakan masalah. Kurikulum sering kali berfokus pada ujian, bukan pemahaman. Ini menciptakan generasi yang pandai menjawab soal, tetapi kurang peka terhadap realitas sosial di sekitarnya.

Padahal, Indonesia adalah negara yang penuh dengan persoalan sosial: ketimpangan ekonomi, diskriminasi, konflik agraria, hingga perubahan iklim. Semua ini membutuhkan warga negara yang tidak hanya terdidik secara akademis, tetapi juga sadar secara sosial. Inilah alasan mengapa kesadaran kritis menjadi sangat penting.

Ketika siswa tidak hanya diajarkan “apa” tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana,” mereka akan tumbuh menjadi individu yang mampu melihat hubungan antara ilmu pengetahuan dan kehidupan nyata. Mereka tidak akan puas hanya dengan teori, tetapi akan terdorong untuk bertanya, berdiskusi, dan bertindak.

Dari Kesadaran Menuju Aksi

Freire menegaskan bahwa kesadaran kritis bukanlah akhir, tetapi awal dari perubahan. Kesadaran yang tidak diikuti tindakan hanyalah kontemplasi kosong. Maka, pendidikan harus menghasilkan individu yang tidak hanya memahami masalah, tetapi juga berani dan mampu mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.

Dalam prakteknya, hal ini bisa diwujudkan dengan mendorong proyek berbasis masyarakat di sekolah, mengintegrasikan isu-isu sosial dalam kurikulum, serta melatih siswa untuk melakukan riset partisipatif. Guru tidak lagi sekadar menyampaikan materi, tetapi menjadi fasilitator yang membantu siswa mengkaji realitas sosial dan mencari solusi.

Sebagai contoh, siswa bisa diajak untuk meneliti masalah sampah di lingkungan sekitar, memetakan akar penyebabnya, dan merancang kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat. Dalam proses ini, mereka belajar ilmu, membangun empati, dan merasakan kekuatan tindakan kolektif.

Guru Sebagai Agen Perubahan

Peran guru sangat vital dalam menumbuhkan kesadaran kritis. Guru tidak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membimbing siswa untuk berpikir kritis, mengajukan pertanyaan, dan menantang status quo. Untuk itu, guru pun harus memiliki kesadaran kritis terlebih dahulu.

Seorang guru yang sadar sosial akan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks lokal. Ia akan membuka ruang dialog, mendengarkan suara siswa, dan menghargai pengalaman hidup mereka. Ia tidak memaksakan kebenaran, tetapi bersama-sama mencari makna.

Guru seperti inilah yang bisa menginspirasi perubahan. Bukan dengan ceramah, tetapi dengan contoh nyata dan pendekatan yang humanis.

Kesadaran Kritis Bukan Ideologi Tertentu

Penting untuk menekankan bahwa kesadaran kritis bukanlah milik satu ideologi atau aliran politik. Ini adalah cara berpikir yang menempatkan manusia sebagai subjek aktif dalam sejarahnya. Freire tidak mendorong dogma baru, tetapi membuka jalan bagi dialog, refleksi, dan tindakan.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan terpolarisasi, kesadaran kritis membantu kita memilah informasi, menghindari manipulasi, dan menjaga kemanusiaan dalam setiap keputusan. Ini adalah modal penting dalam membangun demokrasi yang sehat.

Penutup: Kesadaran adalah Api yang Harus Dijaga

Kutipan Paulo Freire tentang kesadaran kritis adalah pengingat bahwa pendidikan tidak cukup hanya mengajar membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan harus membantu manusia membaca dunia—dan mengubahnya jika perlu.

“Kesadaran kritis memungkinkan manusia menyadari realitas sosialnya, dan mendorongnya untuk bertindak.”

Api kesadaran itu harus kita jaga dan terus nyalakan—di ruang kelas, di rumah, di tempat kerja, dan di masyarakat. Karena dari kesadaran, lahir keberanian. Dan dari keberanian, lahir perubahan.