Tragedi Britannicus: Pewaris Sah Takhta yang Dikhianati Nero

Britannicus
Britannicus
Sumber :
  • https://x.com/a_otama

Roma, WISATA - Dalam lembaran sejarah kekaisaran Romawi, terdapat nama Britannicus, putra kandung Kaisar Claudius, yang seharusnya menjadi penerus sah takhta Romawi. Britannicus adalah buah cinta Claudius dengan istri ketiganya, Messalina, sebelum sang kaisar menikah dengan Agrippina, ibu dari Nero. Namun ambisi kekuasaan yang tak terbendung mengubah nasib pewaris muda ini menjadi tragedi kelam yang mencoreng masa kekuasaan Romawi.

Kebangkitan Nero, Awal Kejatuhan Britannicus

Saat Agrippina berhasil menikah dengan Kaisar Claudius, ia membawa serta anaknya dari pernikahan sebelumnya, Lucius Domitius Ahenobarbus—kelak dikenal sebagai Nero. Agrippina adalah perempuan yang sangat ambisius. Ia memanipulasi situasi politik dan istana demi menaikkan posisi anaknya. Salah satu langkah krusial yang ia lakukan adalah membujuk Claudius untuk mengangkat Nero sebagai anak angkat dan menjadikannya calon pewaris takhta, menggusur posisi Britannicus yang sah sebagai putra kandung.

Nero, yang sejak muda telah terasuh dalam atmosfer kekuasaan, diam-diam merasa terancam dengan keberadaan saudara tirinya. Meski secara hukum telah diangkat sebagai putra mahkota, bayang-bayang Britannicus masih menghantui ambisinya untuk berkuasa sepenuhnya. Kematian Claudius pada tahun 54 Masehi mempercepat perebutan kekuasaan ini. Diduga kuat, Claudius sendiri diracun oleh Agrippina menggunakan jasa seorang ahli racun bernama Locusta.

Konspirasi Maut dan Perjamuan Kematian

Empat bulan setelah kematian Claudius, tragedi menimpa Britannicus. Nero yang telah menjadi kaisar mulai merancang kematian saudara tirinya itu. Ia kembali menggunakan jasa Locusta—sang pembuat racun ulung yang sebelumnya diduga ikut andil dalam pembunuhan Claudius.

Upaya pertama Locusta dalam meracuni Britannicus gagal. Racun yang diberikan ternyata bereaksi terlalu lambat. Nero yang gusar kemudian membawa Locusta ke kamarnya, mengancam nyawanya, dan memerintahkannya untuk menciptakan racun yang lebih cepat bekerja. Locusta akhirnya mencampur ramuan mematikan yang konon mampu membunuh dalam hitungan detik.

Racun itu disajikan dalam jamuan makan malam megah yang dihadiri para bangsawan dan pejabat tinggi Romawi. Di antara para tamu yang hadir adalah saudara perempuan Britannicus, Oktavia Agrippina. Dalam perjamuan itu, Britannicus awalnya diberikan minuman panas yang telah dicicip oleh petugas pencicip istana, seperti protokol kerajaan pada umumnya. Namun karena merasa terlalu panas, ia meminta agar minumannya didinginkan.

Inilah celah yang digunakan Nero. Ketika air dingin ditambahkan ke dalam minuman itu, racun mematikan pun ikut melarut. Tak lama setelah meneguknya, Britannicus kehilangan suara dan mulai kesulitan bernapas. Tubuhnya menggigil dan ia segera terkapar di depan mata seluruh tamu undangan.

Kebohongan Nero dan Diamnya Istana

Alih-alih menunjukkan kepanikan atau belas kasihan, Nero malah berdiri dengan tenang dan menyatakan bahwa saudara tirinya itu sedang mengalami serangan epilepsi—penyakit yang konon memang pernah diderita Britannicus sejak kecil. Dengan dalih itu, Nero menutupi pembunuhan yang telah ia rancang dengan sangat licik.

Kematian Britannicus tidak diikuti dengan penyelidikan, tak pula dikebumikan dengan penghormatan sebagaimana layaknya pangeran kerajaan. Ia dikuburkan dengan tergesa-gesa pada malam itu juga, seolah tak ada yang perlu diributkan.

Tindakan ini menandai puncak kebengisan awal masa pemerintahan Nero. Ia telah berhasil menyingkirkan satu-satunya saingan politiknya dalam keluarga, memperkuat kekuasaan absolutnya atas Roma. Meski demikian, tindakan keji ini menanam benih-benih ketidakpuasan di antara rakyat dan elit politik, yang kelak turut mengguncang kestabilan kekaisaran Romawi.

Locusta, Sang Ahli Racun Kekaisaran

Nama Locusta mencuat sebagai salah satu tokoh penting dalam tragedi ini. Ia dikenal sebagai wanita ahli dalam meracik racun, dan selama bertahun-tahun menjadi alat kekuasaan dalam berbagai intrik politik Romawi. Setelah kejadian ini, Nero tidak hanya membebaskannya dari hukuman, tetapi juga memberikan Locusta tanah dan fasilitas untuk membuka semacam “laboratorium racun” yang digunakan untuk melayani kekuasaan Nero.

Ironisnya, Locusta sendiri akhirnya dieksekusi mati setelah kematian Nero—sebuah akhir yang mencerminkan bagaimana kekuasaan yang dibangun di atas pengkhianatan dan pembunuhan sering kali berujung pada kehancuran.

Penutup

Tragedi kematian Britannicus menjadi simbol dari betapa kejamnya politik dalam kekaisaran Romawi. Seorang pemuda yang seharusnya menjadi penerus sah takhta, direnggut nyawanya oleh tangan saudara tirinya sendiri demi memuluskan jalan kekuasaan. Nero, yang kelak akan dikenal sebagai salah satu kaisar paling tiranik dalam sejarah Romawi, menunjukkan bahwa pengkhianatan terhadap keluarga bukanlah batas dalam ambisinya.

Kisah ini menjadi pelajaran abadi mengenai bahaya kekuasaan tanpa batas, serta betapa intrik, racun, dan kebohongan telah menjadi senjata utama dalam perebutan takhta pada masa lalu.