Inilah Ilustrasi Kenaikan PPN 11% Menjadi 12% oleh Sri Mulyani, yang Akan Berlaku Awal 2025

Sri Mulyani di Rapat Paripurna DPR RI
Sumber :
  • Instagram @smindrawati

Jakarta, WISATA - Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Langkah ini adalah bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang bertujuan memperkuat sistem perpajakan nasional dan meningkatkan penerimaan negara.

Mari kita lihat gambaran sederhana dari dampak kenaikan PPN ini. Jika saat ini Anda belanja di minimarket dengan total belanjaan Rp500.000, maka dengan PPN 11%, Anda harus membayar Rp555.000. Namun, jika tarif PPN naik menjadi 12%, jumlah yang Anda bayarkan meningkat menjadi Rp560.000.

Namun, dampaknya tidak berhenti di situ. Peningkatan tarif PPN cenderung memengaruhi biaya produksi, terutama untuk produsen yang harus membeli bahan baku dengan biaya lebih tinggi. Akibatnya, harga barang di pasar pun ikut naik, yang pada akhirnya dapat melemahkan daya beli masyarakat. Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu yang paling terdampak, karena biasanya mereka memiliki margin keuntungan yang kecil dan sangat tergantung pada daya beli konsumen.

Alasan Kenaikan PPN

Sri Mulyani menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan program sosial. Di tengah kondisi ekonomi global yang menantang, pemerintah berupaya menjaga stabilitas fiskal dengan menggali potensi pajak dalam negeri.

Pada tahun 2023, penerimaan negara dari PPN mencapai Rp706 triliun, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya berkat kenaikan PPN menjadi 11% pada 2022. Kenaikan ini juga membantu Indonesia mencapai target rasio pajak yang lebih baik dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand

Meskipun memiliki tujuan yang jelas, kebijakan kenaikan PPN mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk pelaku usaha dan masyarakat kelas menengah ke bawah. Saat ini, masyarakat menghadapi beban finansial lain seperti iuran BPJS, program Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), dan inflasi harga bahan pokok.