Menanti Langkah Indonesia: Bergabung dengan BRICS atau Tetap Bebas?

Menteri Luar Negeri Sugiono dalam Pertemuan KTT BRICS di Kazan
Sumber :
  • Kementerian Luar Negeri RI

Jakarta, WISATA - Seiring dengan perubahan geopolitik global yang semakin dinamis, peran BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) sebagai blok ekonomi alternatif dari dominasi Barat semakin terlihat. Di sisi lain, Indonesia, sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, menghadapi keputusan besar: apakah bergabung dengan BRICS atau mempertahankan kebijakan bebas-aktif yang selama ini menjadi fondasi diplomasi luar negerinya.

BRICS, yang awalnya hanya berfokus pada ekonomi, kini berkembang menjadi aliansi strategis yang berusaha menantang dominasi dolar AS dan menawarkan sistem alternatif bagi negara-negara berkembang. Indonesia memiliki banyak alasan untuk mempertimbangkan bergabung dengan BRICS, namun juga tidak sedikit tantangan yang harus dihadapi.

BRICS: Kekuatan Ekonomi Baru di Panggung Dunia

BRICS kini menyumbang sekitar 23% dari PDB global dan sekitar 16% dari perdagangan internasional, menurut data Bank Dunia. Tiongkok, yang merupakan ekonomi terbesar dalam aliansi ini, berperan penting dalam mendanai infrastruktur dan pengembangan ekonomi negara-negara anggota lainnya melalui skema seperti Belt and Road Initiative (BRI). Selain itu, BRICS telah membentuk Bank Pembangunan Baru (New Development Bank atau NDB) sebagai alternatif dari lembaga keuangan internasional tradisional seperti Bank Dunia dan IMF, yang sering dikritik karena dianggap terlalu dominan oleh negara-negara Barat.

Dengan sistem yang lebih fleksibel dalam menyediakan pendanaan, NDB menjadi daya tarik utama bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Seandainya Indonesia menjadi anggota BRICS, ada kemungkinan besar mendapatkan akses pendanaan untuk proyek-proyek infrastruktur dan energi yang selama ini memerlukan modal besar. Bagi Indonesia, akses ini bisa sangat membantu, mengingat kebutuhan pendanaan dalam program pembangunan nasional yang masif​.

Mengapa Indonesia Perlu Mempertimbangkan BRICS?

Keanggotaan dalam BRICS dapat membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara Barat. Misalnya, hubungan perdagangan Indonesia saat ini sangat bergantung pada Amerika Serikat dan Uni Eropa. Bergabung dengan BRICS dapat memberi Indonesia akses ke pasar-pasar baru seperti Rusia dan Brasil, yang sejauh ini masih minim dalam hubungan dagang langsung dengan Indonesia.

Selain itu, Tiongkok dan India sebagai anggota BRICS adalah pasar ekspor besar bagi Indonesia. Jika Indonesia bergabung, hal ini bisa mempererat hubungan ekonomi dan perdagangan dengan kedua negara ini dan meningkatkan daya tawar Indonesia di panggung internasional. Indonesia juga bisa memainkan peran strategis dalam mendukung stabilitas ekonomi di Asia Tenggara melalui kolaborasi dengan BRICS dalam mengembangkan program-program ekonomi yang relevan​.

Risiko Ketegangan dengan Negara Barat

Namun, bergabung dengan BRICS tidak tanpa risiko. Bergabungnya Indonesia dalam aliansi ini mungkin saja dilihat oleh negara-negara Barat sebagai tanda Indonesia semakin condong ke Timur. Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang masih menjadi investor terbesar di Indonesia, terutama di sektor manufaktur, teknologi, dan energi. Ketegangan diplomatik antara BRICS dan negara-negara Barat yang telah meningkat akibat perang di Ukraina, misalnya, bisa menimbulkan efek samping jika Indonesia dilihat terlalu dekat dengan pihak BRICS.

Di sisi lain, hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN juga dapat terpengaruh, mengingat beberapa negara ASEAN seperti Singapura dan Filipina memiliki hubungan yang kuat dengan Amerika Serikat. Jika Indonesia bergabung dengan BRICS, negara-negara tetangganya mungkin akan merasa adanya perubahan dalam dinamika regional yang memengaruhi stabilitas di Asia Tenggara.

Kemandirian Ekonomi dan Kebijakan Bebas-Aktif

Sejak era Soekarno, Indonesia menjalankan kebijakan bebas-aktif yang menempatkannya di posisi netral dalam kancah geopolitik. Kebijakan ini memungkinkan Indonesia untuk tidak memihak salah satu blok tertentu, baik Timur maupun Barat. Dalam konteks globalisasi dan perdagangan bebas, kebijakan ini telah berhasil mengamankan posisi Indonesia sebagai negara yang diterima di berbagai forum internasional tanpa tekanan dari pihak tertentu.

Memilih untuk tetap bebas-aktif akan memungkinkan Indonesia menjaga hubungan baik dengan kedua pihak, BRICS maupun Barat. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari kedua pihak tanpa harus terlibat dalam ketegangan geopolitik yang sering melibatkan kepentingan besar.

Data Perbandingan BRICS dan G7

Jika dibandingkan dengan G7, blok ekonomi BRICS memang lebih kecil secara PDB total, namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Berdasarkan data IMF, G7 menyumbang sekitar 46% dari PDB global pada 2023, jauh di atas BRICS yang memiliki kontribusi sekitar 23%. Namun, pertumbuhan ekonomi di negara-negara BRICS lebih pesat, terutama di Tiongkok dan India, yang diproyeksikan akan menjadi ekonomi terbesar di dunia dalam beberapa dekade mendatang.

Selain itu, statistik menunjukkan bahwa perdagangan antara Indonesia dan negara-negara G7 masih lebih besar dibandingkan perdagangan dengan negara-negara BRICS. Pada 2022, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai lebih dari USD 25 miliar, sementara ekspor ke Tiongkok adalah sekitar USD 53 miliar. Meski Tiongkok merupakan pasar ekspor terbesar bagi Indonesia, kontribusi dari negara-negara G7 lainnya juga signifikan bagi perekonomian nasional​.

Apakah Indonesia Harus Memilih?

Indonesia sebenarnya tidak harus memilih antara BRICS atau negara Barat. Kebijakan luar negeri bebas-aktif yang dianut oleh Indonesia memberi fleksibilitas dalam menentukan mitra strategis. Di tengah perubahan geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia bisa memanfaatkan posisi ini untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari kedua blok tanpa harus memihak sepenuhnya pada salah satu pihak.

Sebagai negara non-blok, Indonesia juga bisa memperkuat posisi tawar di hadapan BRICS maupun Barat. Dengan memainkan peran sebagai jembatan atau penengah antara kedua kubu, Indonesia dapat meningkatkan pengaruhnya di tingkat internasional dan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi global yang diambil tetap menguntungkan bagi kepentingan nasional.

BRICS menawarkan peluang besar bagi Indonesia dalam meningkatkan daya saing ekonomi dan memperluas pasar internasional. Namun, tantangan dan risiko yang muncul dari ketegangan dengan negara-negara Barat juga tidak dapat diabaikan. Dengan kebijakan bebas-aktif, Indonesia memiliki peluang untuk tetap menjaga hubungan baik dengan BRICS dan Barat, tanpa harus sepenuhnya memihak salah satu blok.

Maka, keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS atau tidak, bukan hanya soal peluang ekonomi, tetapi juga soal menjaga keseimbangan dalam hubungan diplomatik dan mempertahankan kemandirian dalam kebijakan luar negeri. Di persimpangan ini, langkah yang diambil Indonesia akan menjadi penentu masa depan ekonominya di tengah dinamika global yang terus berubah.