Pedagang Luar Negeri 'Turun Gunung' ke UKM Petani, Ketum KOPITU Usulkan Bentuk Satgas Proteksi UKM

Yoyok Pitoyo Ketum Kopitu Bersama Pelaku UMKM
Sumber :
  • Handoko

 

Jakarta, WISATA - Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia Bersatu (KOPITU), Yoyok Pitoyo, melontarkan pernyataan yang mengejutkan terkait kondisi UMKM petani di Indonesia. Ia mengungkapkan bahwa semakin banyak pedagang asing yang mulai 'turun gunung' ke desa-desa untuk mencari bahan baku industri dari para petani dan pelaku UKM lokal. Praktik ini tidak hanya merugikan UKM petani secara finansial, tetapi juga mengancam keberlanjutan usaha mereka.

Yoyok dengan tegas menyampaikan kekhawatirannya tentang dampak buruk dari praktik ini. "Kita melihat semakin banyak pengusaha asing yang datang langsung ke petani, membeli bahan baku dengan sistem ijon, di mana mereka membeli hasil produksi petani jauh sebelum panen dengan harga yang sangat rendah. Ini jelas memukul UKM kita," ujar Yoyok dalam wawancara eksklusif.

Praktik ijon ini, menurut Yoyok, semakin menambah tekanan terhadap UMKM lokal yang sudah lebih dulu tergencet oleh banjirnya produk asing dengan harga murah dan kualitas rendah. "UMKM kita sudah terjepit oleh produk asing yang membanjiri pasar domestik, kini mereka harus berhadapan dengan tengkulak asing yang merampas bahan baku industri dari tangan petani kita. Ini tidak bisa dibiarkan," tegasnya.

Banjir Produk Asing Tekan UMKM Lokal

Seiring dengan globalisasi dan keterbukaan pasar, produk asing dengan harga murah dan kualitas yang sering kali rendah telah membanjiri pasar Indonesia. Kondisi ini membuat pelaku UMKM lokal, terutama yang belum melek digital dan beroperasi secara tradisional, semakin terjepit. "Banyak pelaku UMKM di Indonesia yang masih belum memanfaatkan teknologi digital. Padahal, dalam era ini, akses teknologi sangat penting untuk membuka peluang pasar yang lebih luas dan bersaing dengan produk-produk asing," tutur Yoyok.

Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, hanya sekitar 16% dari total 64,2 juta UMKM yang sudah terhubung dengan ekosistem digital. Sebagian besar UMKM di Indonesia masih beroperasi dalam skala rumahan dengan mengandalkan tenaga kerja dari anggota keluarga atau lingkungan terdekat. Keterbatasan akses terhadap teknologi inilah yang membuat mereka kesulitan menjangkau pasar yang lebih luas dan berkompetisi secara sehat.

"Produk-produk asing sering kali dipasarkan dengan harga lebih murah, meskipun kualitasnya rendah. Namun, daya tarik harga murah ini membuat konsumen cenderung memilih produk asing dibandingkan produk lokal, yang akhirnya memukul UMKM kita," jelas Yoyok.

Akses Teknologi dan Pembiayaan yang Terbatas

Selain masalah digitalisasi, pelaku UMKM di Indonesia juga dihadapkan pada keterbatasan akses terhadap pembiayaan. Banyak dari mereka yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan formal seperti perbankan karena terbentur persyaratan yang tidak bisa mereka penuhi. "Mereka sering kali terhambat oleh birokrasi yang rumit, persyaratan yang berat, serta kurangnya informasi mengenai akses pembiayaan. Ini menjadi penghalang utama bagi mereka untuk berkembang," kata Yoyok.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sektor UMKM masih menyumbang sekitar 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, kendati memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional, UMKM lokal masih menghadapi berbagai kendala dalam hal akses pasar dan pembiayaan.

"Jika pemerintah tidak segera turun tangan, kondisi ini akan semakin memperburuk nasib UMKM kita. Mereka butuh bantuan, bukan sekadar regulasi yang menambah beban mereka," imbuh Yoyok.

Regulasi yang Tidak Berpihak kepada UMKM

Yoyok juga menyoroti regulasi yang dikeluarkan pemerintah sering kali tidak berpihak kepada pelaku UMKM. Menurutnya, alih-alih memberikan pendampingan yang dibutuhkan, regulasi yang dikeluarkan justru semakin menyulitkan UMKM untuk tumbuh dan berkembang. "Kebijakan yang ada sering kali lebih memihak kepada perusahaan besar. UMKM kita yang justru membutuhkan proteksi lebih, sering kali diabaikan," ungkap Yoyok.

Harapannya, pemerintahan yang akan datang, baik di eksekutif maupun legislatif, dapat mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak kepada UMKM. Salah satu solusinya, menurut Yoyok, adalah dengan membentuk satuan tugas khusus yang bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan pelaku UMKM dari tekanan asing. "Kami mengusulkan pembentukan Satgas Proteksi UMKM, yang bertugas mengawasi dan memberikan proteksi bagi pelaku usaha kecil dan menengah dari praktik-praktik yang merugikan seperti yang dilakukan oleh tengkulak asing ini," kata Yoyok.

Kekhawatiran Terhadap Tengkulak Asing

Yoyok mencontohkan bahwa para pengusaha asing yang terjun ke desa-desa ini biasanya mencari bahan baku seperti kopi, getah damar, gambir, pinang, kayu manis, hingga limbah asam tinggi dari kelapa sawit yang digunakan untuk produksi sabun dan solar. Beberapa daerah seperti Bengkulu dan Jambi menjadi target utama mereka. "Jika ini dibiarkan, pelaku UMKM kita tidak akan punya kesempatan untuk mengembangkan usaha mereka. Mereka tidak bisa bersaing dengan pengusaha asing yang memiliki modal besar dan bisa membeli bahan baku dengan harga murah," tegas Yoyok.

Sistem ijon yang diterapkan oleh pengusaha asing ini juga sangat merugikan petani lokal. Petani sering kali dipaksa menjual hasil panen mereka jauh sebelum masa panen dengan harga yang sangat rendah. "Ini praktik yang sangat tidak sehat. Petani kita tidak punya pilihan lain karena mereka butuh uang tunai segera. Pada akhirnya, mereka yang paling dirugikan," kata Yoyok.

Hilirisasi yang Terancam Gagal

Selain itu, Yoyok juga mengingatkan bahwa upaya pemerintah dalam melakukan hilirisasi produk industri dapat menjadi sia-sia jika praktik seperti ini dibiarkan. "Pemerintah sedang berupaya untuk meningkatkan nilai tambah produk lokal melalui hilirisasi. Namun, jika bahan baku utama sudah diambil oleh pengusaha asing dengan harga murah, rencana hilirisasi ini tidak akan bisa berjalan optimal," jelas Yoyok.

Hilirisasi merupakan proses peningkatan nilai tambah dari produk lokal dengan memprosesnya lebih lanjut di dalam negeri sebelum diekspor. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nasional serta memberikan kesempatan yang lebih besar bagi pelaku UMKM untuk berkembang.

"Jika kita tidak melindungi bahan baku dan hasil bumi kita dari tengkulak asing, kita akan kehilangan kesempatan untuk meningkatkan ekonomi nasional melalui hilirisasi," tutup Yoyok.

Dalam kondisi yang semakin sulit ini, Yoyok Pitoyo menyerukan agar pemerintah segera mengambil tindakan tegas. Pembentukan Satgas Proteksi UMKM yang diusulkan oleh KOPITU diharapkan bisa menjadi solusi untuk melindungi pelaku usaha kecil dan menengah dari tekanan produk asing serta praktik-praktik bisnis yang merugikan.

"UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Mereka harus dilindungi, bukan ditekan. Kita butuh regulasi yang berpihak kepada rakyat kecil, yang memberikan proteksi dan ruang bagi mereka untuk berkembang," pungkas Yoyok.

KOPITU juga berharap agar masyarakat semakin sadar akan pentingnya mendukung produk lokal dan memberikan kesempatan bagi UMKM untuk berkembang. "Jika kita terus bergantung pada produk asing, kita akan kehilangan jati diri dan kemandirian ekonomi kita. Saatnya kita melindungi dan memberdayakan UMKM kita," tutupnya.