Mengapa Negara Berkembang Semakin Tertinggal dalam Revolusi Teknologi Global?

Wamenkominfo Nezar Patria
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Jakarta, WISATA - Revolusi kecerdasan buatan (AI) telah memicu perubahan besar di berbagai sektor, mulai dari ekonomi hingga kesehatan. Namun, di balik gemilangnya perkembangan ini, terdapat jurang kesenjangan yang semakin lebar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan rendah. Fenomena ini, yang dikenal sebagai AI Divide, menjadi sorotan utama dalam Keynote Speech yang disampaikan oleh Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Nezar Patria, pada KORIKA AI Innovation Summit 2024 yang berlangsung pada 13 Agustus 2024.

Investasi yang Tidak Merata dan Ketimpangan Akses

Dalam paparannya, Nezar Patria mengungkapkan bahwa setiap tahunnya, investasi global untuk pengembangan AI mencapai lebih dari 300 miliar USD. Namun, ironisnya, sebagian besar dana ini terkonsentrasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya menerima sebagian kecil dari investasi ini, membuat mereka semakin tertinggal dalam mengadopsi dan memanfaatkan teknologi AI.

Ketimpangan ini bukan hanya tentang ketersediaan dana, tetapi juga tentang akses terhadap infrastruktur yang diperlukan untuk pengembangan AI. Infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung teknologi ini sangat mahal, seperti jaringan broadband berkecepatan tinggi, pusat data yang canggih, dan tenaga ahli yang terampil. Banyak negara berkembang tidak mampu menyediakan fasilitas ini secara merata, sehingga hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati manfaat dari teknologi AI.

Tantangan dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia

Selain infrastruktur, kemampuan untuk menggunakan AI juga menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang. Sumber daya manusia yang cakap dalam teknologi ini sangat diperlukan, namun sering kali terhambat oleh kurangnya program pendidikan dan pelatihan yang memadai. Di Indonesia, misalnya, meskipun terdapat inisiatif seperti Digital Talent Scholarship (DTS) yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi talenta digital, namun masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat memiliki akses dan kemampuan yang sama dalam memanfaatkan AI.

Ketimpangan Algoritma dan Dampaknya pada Kelompok Marginal

Lebih lanjut, Nezar Patria menyoroti masalah ketimpangan yang terjadi pada tingkat algoritma AI. Algoritma yang digunakan dalam AI sering kali menunjukkan bias yang merugikan kelompok marginal. Contohnya, AI yang digunakan untuk proses rekrutmen tenaga kerja dapat memberikan penilaian yang tidak adil jika data yang digunakan untuk melatih algoritma tersebut bersifat diskriminatif. Ini menunjukkan bahwa ketimpangan dalam AI tidak hanya terjadi pada akses dan penggunaan teknologi, tetapi juga pada hasil dari pengolahan data AI.

Ketidaksetaraan ini menimbulkan dampak yang signifikan, terutama bagi negara-negara berkembang yang masih berjuang untuk mengejar ketertinggalan. Nezar Patria mengingatkan bahwa tanpa intervensi yang tepat, kesenjangan ini akan terus melebar, memperburuk ketidakadilan yang sudah ada dalam masyarakat global.

Membangun Masa Depan yang Lebih Adil Melalui Demokratisasi AI

Untuk mengatasi tantangan ini, Nezar Patria menekankan pentingnya strategi Demokratisasi AI. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa semua negara, terlepas dari tingkat pendapatannya, memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi AI. Salah satu langkah konkret yang dapat diambil adalah melalui transfer teknologi dan pengetahuan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang.

Transfer teknologi ini tidak hanya tentang berbagi perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga tentang membangun kapasitas lokal untuk mengembangkan dan memanfaatkan AI. Program pendidikan dan pelatihan harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa talenta digital di negara-negara berkembang memiliki keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di era AI.

Indonesia, melalui program-program seperti DTS, telah mulai mengambil langkah ini. Namun, Nezar Patria menegaskan bahwa pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama lebih erat untuk memastikan bahwa teknologi AI dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, AI tidak hanya akan menjadi alat bagi negara-negara maju untuk memperkuat dominasinya, tetapi juga akan menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan global.

Kesenjangan AI adalah tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius dari komunitas global. Tanpa upaya yang terkoordinasi, negara-negara berkembang akan terus tertinggal, dan ketimpangan akan semakin melebar. Strategi Demokratisasi AI yang melibatkan transfer teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia adalah kunci untuk menciptakan dunia di mana semua orang dapat menikmati manfaat dari revolusi AI. Nezar Patria mengakhiri pidatonya dengan panggilan untuk aksi global yang lebih inklusif dan adil dalam pengembangan AI, agar teknologi ini dapat menjadi pendorong bagi kesejahteraan semua bangsa, bukan hanya segelintir negara.