Tradisi Grebeg Sudiro: Warisan Budaya yang Menyatukan Komunitas Tionghoa dan Jawa di Solo
- IG/gettyimages
WISATA – Grebeg Sudiro adalah tradisi yang menggambarkan pembauran budaya Jawa dan Tionghoa. Tradisi ini lahir pada tahun 2007 di Sudiroprajan, Solo. Wilayah ini dikenal sebagai Kampung Pecinan karena banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Tradisi ini bertujuan menyatukan warga Tionghoa dan Jawa, dan telah menjadi perayaan tahunan yang didukung oleh Pemerintah Kota Solo. Inisiatornya Grebeg Sudiro antara lain adalah Oei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya. Meskipun baru berlangsung selama beberapa tahun, Grebeg Sudiro mencerminkan semangat kerukunan antar etnis.
Tradisi Grebeg Sudiro mencerminkan semangat kerukunan antar etnis dan bertujuan menyatukan warga Tionghoa dan Jawa di Sudiroprajan, sebuah daerah yang dikenal harmonis dengan perkawinan campur dan interaksi budaya yang erat . Melalui kreativitas warga Sudiroprajan dalam membuat kerajinan dan menarik perhatian dengan manik-manik, lampion, dan makanan khas Tionghoa, Grebeg Sudiro berhasil memperkenalkan kelurahan Sudiroprajan kepada wisatawan dan masyarakat luas .
Tradisi ini melibatkan dua kegiatan utama yakni Sedekah Bumi yaitu kegiatan yang mengekspresikan rasa syukur pedagang Pasar Gede dan masyarakat sekitar, dan Kirab Budaya yang melibatkan kebersamaan dua etnis, Tionghoa dan Jawa. Dalam kirab ini, ditampilkan tarian khas Jawa serta pertunjukan Liong dan Barongsai .
Pada 2024 ini, Grebeg Sudiro berlangsung pada akhir Januari hingga Februari 2024, dengan agenda sebagai berikut,
1. Mantra Umbul (27 Januari 2024): Mantra Umbul melambangkan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas nikmat dan keselamatan yang diberikan kepada seluruh masyarakat Sudiroprajan. Acara ini menampilkan prosesi budaya (kirab budaya) yang membawa dua jodang (tandu tradisional) yaitu jodang lanang (untuk pria) dan jodang wadon (untuk wanita). Jodang adalah sejenis tandu yang digunakan untuk mengangkut barang, dibawa oleh beberapa orang.