WISATA RELIGI: Masjid Saka Tunggal di Banyumas, Masjid dengan Satu Pilar Utama Penyangga
- dinporabudpar.banyumaskab.go.id
Banyumas, WISATA – Masjid Saka Tunggal terletak di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, berjarak 30 kilometer arah Barat Daya Kota Purwokerto.
Dinamakan masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga.
Di sekitar masjid, terdapat makam seorang penyebar agama islam bernama Kyai Mustolih.
Berdasarkan cerita narasumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Suwedi Monanta, seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002, diketahui berbagai informasi terkait keberadaan masjid ini.
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali Songo, yang merupakan murid Syech Siti Jenar.
Sunan Panggung meninggal pada masa Sultan Trenenggono di Kerajaan Demak Bintoro, antara tahun 1546-1548 M.
Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar, atas kesalahannya menentang suatu syariat.
Namun demikian, dalam hukumnya tersebut ia tidak mati, bahkan saat itu, mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pangeran Halas.
Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan.
Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak.
Kyai Cikakak menurunkan Resayuda.
Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung, tidak diketahui nama aslinya.
Nama “Kyai Cikakak” diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak.
Di Desa inilah, Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal (saka tunggal) yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid Saka Tunggal di bangun di tempat suci “Agama Kuno” (agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindia Budha) yang dapat dibuktikan dengan keberadaa di sekitar masjid, terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual: “agama kuno”, dibangun pada tahun 1522 M.
Di sekitar tempat ini, terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang dihuni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh, Bali.
Saat ini, masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya.
Bedanya, gebyok kayudan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini, telah diganti dengan tembok.
Keunikan masjid ini, juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya.
Setiap akan salat berjamaah, selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung Jawa.
Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.
Tata cara salat jamaah di masjid kuno ini, tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya.
Khusus pada jamaah salat jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat.
Selain itu, semua rangkaian salat jumat dilakukan berjamaah, mulai dari salat tahiyatul masjid, khoblaljuma’ah, salat jumat, ba’dla jum’ah, salat dhuhur, hingga ba’dal zuhur.
Semua muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas Jawa warna biru bermotif batik.
(Sumber: dinporabudpar.banyumaskab.go.id)