Seneca: Apa yang Diberikan Nasib Bukanlah Milikmu yang Sejati
- Cuplikan layar
Malang, WISATA - “What fortune has made yours is not your own.”
Apa yang dikaruniakan oleh nasib kepadamu, sesungguhnya bukanlah milikmu yang sejati. Kalimat ini berasal dari Seneca, filsuf Stoik besar dari Romawi, yang menyoroti betapa rapuhnya kepemilikan atas hal-hal duniawi seperti kekayaan, jabatan, atau kehormatan.
Di tengah dunia modern yang menghargai pencapaian, kekayaan, dan status sosial sebagai ukuran keberhasilan hidup, Seneca mengajak kita untuk berpikir ulang. Ia menawarkan cara pandang yang membumi sekaligus menantang ego: jangan pernah terlalu menggenggam apa yang bisa diberikan—dan diambil—oleh nasib.
Apa Itu yang Diberikan oleh Nasib?
Dalam konteks pemikiran Stoik, nasib mencakup hal-hal yang berada di luar kendali kita: kelahiran dalam keluarga tertentu, warisan, keberuntungan bisnis, promosi pekerjaan, atau bahkan pujian dari orang lain. Seneca tidak menolak keberuntungan, tetapi mengingatkan bahwa apa pun yang bisa datang secara tiba-tiba, juga bisa hilang dengan cara yang sama.
Harta kekayaan yang datang karena warisan, posisi yang diraih karena koneksi, atau ketenaran yang muncul dari viralitas sesaat—itu semua hanyalah titipan. Jika kita mendasarkan identitas dan kebahagiaan kita pada hal-hal tersebut, maka kita sedang membangun hidup di atas pondasi yang rapuh.
Kepemilikan Sejati Adalah Karakter, Bukan Harta
Menurut Seneca, satu-satunya yang benar-benar milik kita adalah karakter, prinsip, dan keutamaan moral. Keberanian, kejujuran, ketekunan, kesabaran, dan kebaikan hati adalah hal-hal yang tidak bisa diberikan atau dicabut oleh nasib. Ia hanya bisa dibentuk dari dalam, melalui latihan dan kesadaran diri.
Orang yang menggantungkan harga dirinya pada kekayaan akan hancur ketika hartanya hilang. Namun orang yang membangun dirinya dengan prinsip akan tetap utuh, bahkan di tengah kehilangan.
Hidup dalam Ketergantungan: Bahaya yang Tak Terlihat
Mengandalkan nasib berarti kita hidup dalam ilusi stabilitas. Padahal, dunia selalu berubah. Investasi bisa gagal. Bisnis bisa bangkrut. Kesehatan bisa menurun. Popularitas bisa hilang dalam sekejap. Ketika seluruh identitas kita tergantung pada sesuatu yang tidak abadi, maka kita menjadi rentan terhadap krisis eksistensial.
Inilah yang ingin dihindari oleh filsafat Stoik. Dengan menyadari bahwa apa yang diberikan nasib bukan milik sejati, kita bisa melepaskan keterikatan yang berlebihan dan membangun hidup yang lebih tenang serta berdaya.
Perbandingan: Raja yang Tergantung vs Petani yang Merdeka
Bayangkan seorang raja yang seluruh hidupnya bergantung pada pujian rakyat, kekayaan istana, dan kestabilan politik. Ia tidur dengan gelisah, selalu khawatir akan pengkhianatan atau kudeta. Di sisi lain, seorang petani sederhana hidup dalam batas kebutuhannya, tetapi damai karena ia tidak terikat pada hal-hal yang bisa hilang.
Seneca akan berkata bahwa petani itu lebih bebas dan kaya secara jiwa dibanding sang raja. Karena kebahagiaan sejati, bagi filsafat Stoik, tidak datang dari luar, tetapi dari dalam.
Bagaimana Menyikapi Pemberian Nasib?
Seneca tidak menyuruh kita menolak rezeki atau membenci keberuntungan. Justru sebaliknya—ia mendorong kita untuk mensyukuri, tetapi tidak melekat. Terimalah apa yang datang dengan rendah hati, dan jika harus pergi, lepaskan tanpa kepahitan.
Ada beberapa cara bijak menyikapi pemberian nasib:
1. Menikmati Tanpa Melekat
Gunakan harta, jabatan, atau ketenaran dengan bijak, tapi jangan pernah menggantungkan hidup padanya.
2. Membangun Karakter Seiring Keberhasilan
Setiap kali kita mendapatkan keberuntungan, tanyakan: “Apakah ini membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik atau justru sebaliknya?”
3. Bersiap untuk Kehilangan
Sadari bahwa semua bisa hilang kapan saja. Latih mental untuk tetap tenang dalam kehilangan.
4. Membedakan Mana yang Esensial
Belajar membedakan antara apa yang bisa diberikan nasib dan apa yang tumbuh dari dalam diri.
Relevansi di Zaman Sekarang
Di era media sosial, keberuntungan sering hadir dalam bentuk viralitas. Banyak orang tiba-tiba terkenal, kaya, atau berpengaruh dalam waktu singkat. Tapi apakah itu benar-benar milik mereka? Apakah itu akan bertahan?
Seneca mengajak kita untuk tidak tertipu oleh kilauan yang sementara. Ia menyarankan agar kita memusatkan perhatian pada kualitas diri yang tidak bisa dicuri oleh waktu atau keadaan.
Penutup: Bangunlah Hidup di Atas Hal yang Tak Bisa Diambil
“What fortune has made yours is not your own.”
Kekayaan, jabatan, ketenaran, bahkan relasi sosial bisa datang dan pergi. Tapi apa yang kamu latih dalam dirimu—karakter, kebijaksanaan, dan nilai moral—itulah yang akan tetap bersamamu, bahkan dalam penderitaan.
Seneca tidak sedang mengajak kita untuk menjauhi dunia, tetapi untuk tidak diperbudak olehnya. Ia menawarkan jalan untuk menjadi merdeka dalam batin, bahkan ketika dunia di luar kita terus berubah. Dan dalam kemerdekaan batin itulah, kita menemukan kebahagiaan yang sejati.