Chrysippus dan Seni Mengendalikan Emosi di Tengah Badai Kehidupan
- Cuplikan Layar
Jakarta, WISATA – Dalam dunia modern yang penuh tekanan, di mana media sosial menjadi panggung bagi ledakan emosi dan kehidupan berjalan dalam kecepatan tinggi, pengendalian diri menjadi kemampuan yang semakin langka. Namun, lebih dari dua ribu tahun yang lalu, seorang filsuf Stoik bernama Chrysippus dari Soli telah merumuskan fondasi bagaimana manusia dapat tetap tenang dan berpikir jernih di tengah badai kehidupan.
Sebagai penerus Zeno dan pemimpin ketiga sekolah Stoik di Athena, Chrysippus tidak hanya memperkaya filsafat rasionalisme Yunani, tetapi juga mengembangkan pendekatan sistematis terhadap pengelolaan emosi. Ia percaya bahwa pikiran manusia harus menjadi penguasa emosi, bukan sebaliknya.
Emosi sebagai Gangguan Penilaian
Bagi Chrysippus, emosi yang tidak terkendali bukanlah bagian alami dari manusia, melainkan kesalahan dalam berpikir. Dalam pandangannya, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan muncul bukan karena kejadian eksternal, tetapi karena kita menilai peristiwa tersebut secara keliru. Sebagai contoh, kita menjadi marah bukan karena seseorang menyakiti kita, melainkan karena kita meyakini bahwa tindakan itu tidak pantas dan perlu dibalas.
Ia menulis bahwa seseorang tidak akan terguncang oleh kehilangan kekayaan atau kegagalan, jika ia tidak terlebih dahulu percaya bahwa hal-hal tersebut adalah “kebaikan” mutlak. Inilah inti ajaran Stoik: mengidentifikasi mana yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak. Emosi negatif lahir dari keterikatan pada hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Terapi Pikiran ala Chrysippus
Meskipun istilah terapi belum populer di masa Yunani Kuno, pemikiran Chrysippus telah membentuk dasar dari terapi kognitif modern. Pendekatannya sangat mirip dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang kini banyak digunakan psikolog. Terapi ini membantu seseorang mengenali dan mengubah pola pikir keliru yang memicu stres atau depresi.