Tunda Terus, Gagal Pasti: Pelajaran Berharga dari Tim Ferriss tentang Menunda Impian
- Cuplikan layar
Malang, WISATA – Di tengah kesibukan dan ketidakpastian hidup, banyak orang terjebak dalam satu frasa yang tampak tak berbahaya, namun sangat berbahaya: “Nanti saja.” Penulis dan podcaster kenamaan Tim Ferriss, dalam salah satu kutipannya yang paling tajam, memperingatkan:
“Conditions are never perfect. ‘Someday’ is a disease that will take your dreams to the grave with you.”
("Kondisi tidak akan pernah sempurna. 'Suatu hari nanti' adalah penyakit yang akan membawa mimpimu ke liang kubur.")
Kutipan ini terdengar sederhana, namun menyimpan makna mendalam. Ferriss ingin menegaskan bahwa penundaan sering kali dibungkus dalam bentuk harapan palsu. Kita mengatakan akan memulai proyek impian kita, membangun bisnis sendiri, atau menulis buku "nanti", saat kondisi sudah ideal. Padahal, kenyataannya kondisi ideal itu jarang, bahkan mungkin tidak akan pernah datang.
Penyakit "Nanti": Musuh Nyata dari Aksi
Bagi Ferriss, sikap menunggu adalah jebakan paling halus dan paling berbahaya. Ia menyebut penundaan sebagai “penyakit”, karena dampaknya perlahan tapi pasti menggerogoti mimpi dan semangat kita. Kita menunggu gaji naik dulu, menunggu anak-anak besar dulu, menunggu dunia lebih stabil—hingga akhirnya waktu habis dan impian tinggal angan.
Fenomena ini disebut oleh para psikolog sebagai procrastination bias, kecenderungan manusia untuk menghindari ketidaknyamanan jangka pendek, meskipun tindakan itu penting untuk kesuksesan jangka panjang. Tim Ferriss, yang juga dikenal sebagai praktisi filosofi Stoik modern, mengajak kita untuk menyadari jebakan ini dan segera mengambil langkah nyata, sekecil apa pun itu.
Filosofi Stoik dan Prinsip Bertindak Sekarang
Ferriss tidak hanya menyajikan motivasi kosong. Dalam bukunya The 4-Hour Workweek, ia mengajak pembaca untuk bertanya pada diri sendiri: “Apa yang sebenarnya menghalangi saya untuk memulai sekarang?”. Dengan menjawab secara jujur, kita akan menemukan bahwa banyak alasan kita hanya berdasar pada rasa takut, bukan realita.