Seneca: Tak Ada yang Bisa Bertahan dari Penderitaan yang Terus-Menerus Jika Rasanya Tetap Sama Seperti Saat Awal Datang
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Filsuf Stoik terkenal dari Romawi, Lucius Annaeus Seneca, kembali menyuarakan kebijaksanaan yang menyentuh relung terdalam kehidupan manusia melalui kutipan reflektif berikut:
“No one could endure lasting adversity if it continued to have the same force as when it first hit us.”
(Tak ada seorang pun yang bisa bertahan dari kesulitan yang berlangsung lama jika rasa sakitnya tetap sekuat saat pertama kali menimpanya.)
Ketahanan Manusia: Kunci dari Filosofi Stoik
Melalui kalimat tersebut, Seneca menyoroti keajaiban ketahanan psikologis manusia. Dalam setiap tragedi, bencana, atau penderitaan yang panjang, manusia diberi kemampuan untuk beradaptasi secara emosional dan mental. Rasa sakit yang pada awalnya begitu tajam, perlahan-lahan bisa berubah menjadi bagian dari kehidupan yang bisa diterima — bahkan bisa memberi pelajaran.
Seneca tidak bermaksud meremehkan rasa sakit, tetapi menegaskan bahwa manusia bukan hanya makhluk yang merasakan, tetapi juga makhluk yang belajar menahan dan mengubah rasa itu. Waktu menjadi sekutu dalam proses ini.
Fase Terberat Selalu di Awal
Jika kita mengenang masa-masa sulit dalam hidup — kehilangan orang tercinta, kebangkrutan, penyakit, atau kegagalan besar — momen paling menyakitkan biasanya terjadi di awal. Tubuh gemetar, pikiran tak menentu, dan hati seakan runtuh. Namun setelah satu hari, satu minggu, satu bulan, atau satu tahun, kita belajar berdamai, bukan karena masalahnya hilang, tetapi karena kita tumbuh lebih kuat.
Seneca mengajak kita untuk tidak takut pada penderitaan, karena rasa perih yang kita rasakan di awal tidak akan terus sama selamanya. Seiring waktu, rasa sakit mereda, dan manusia mulai menemukan kekuatan batinnya untuk bertahan.
Adaptasi Emosional: Mekanisme Perlindungan Alami
Apa yang diungkapkan Seneca sebenarnya juga diamini oleh psikologi modern. Dalam ilmu psikologi, proses ini dikenal sebagai "hedonic adaptation", yakni kemampuan manusia untuk kembali ke titik keseimbangan emosional setelah peristiwa besar — baik yang menyenangkan maupun menyedihkan.
Ketika penderitaan datang, otak dan jiwa bekerja sama untuk mengurangi intensitas emosi negatif, sehingga manusia bisa tetap hidup dan berfungsi. Inilah mengapa orang yang mengalami tragedi hebat bisa tetap tersenyum suatu hari nanti — bukan karena mereka melupakan, tapi karena mereka belajar berdamai.
Kesabaran: Kunci Bertahan dari Kesulitan
Seneca juga ingin menekankan pentingnya kesabaran dalam menghadapi penderitaan. Jika kita bisa bertahan melalui fase awal yang paling menyakitkan, maka selebihnya akan lebih bisa ditanggung. Dalam Stoikisme, ini disebut fortitudo — keberanian batin yang lahir dari ketenangan pikiran dan penerimaan realitas.
Kesabaran bukanlah pasrah. Ia adalah sikap aktif untuk tetap hidup dengan bijak di tengah badai. Ia percaya bahwa penderitaan, seberat apa pun, akan menjadi lebih ringan seiring waktu, selama kita tidak menyerah pada keputusasaan.
Pelajaran untuk Dunia Modern
Di dunia yang serba instan ini, banyak orang ingin lepas dari rasa sakit dengan cepat — dengan pelarian, hiburan, atau bahkan lari dari kenyataan. Namun Seneca mengajak kita untuk menjalani penderitaan itu sepenuhnya, karena hanya dengan cara itu kita bisa memahami kekuatan sejati yang tersembunyi dalam diri manusia.
Penderitaan, jika dihadapi dengan kebijaksanaan, bisa menjadi guru kehidupan. Ia membentuk karakter, menumbuhkan empati, dan memperkuat jiwa.
Kesimpulan: Penderitaan Akan Mereda, Jika Kita Bertahan
Kutipan Seneca ini menjadi pengingat bijak: jangan menyerah pada rasa sakit saat pertama kali datang, karena intensitasnya akan mereda. Manusia diberkahi dengan kemampuan untuk bertahan, berubah, dan tumbuh. Dan dalam proses itu, kita menemukan makna hidup yang lebih dalam.