Robert Rosenkranz: “Kekuatan Sesungguhnya Datang dari Kemampuan untuk Diam Ketika Dunia Berteriak”
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA – Di tengah hiruk-pikuk dunia yang kian gaduh, tekanan sosial yang menggema dari setiap notifikasi, dan ekspektasi publik yang tiada henti, muncul satu pesan mendalam dari pemikir kontemporer dan investor kenamaan asal Amerika Serikat, Robert Rosenkranz:
“Kekuatan sesungguhnya datang dari kemampuan untuk diam ketika dunia berteriak.”
Pesan ini bukan sekadar nasihat filosofis. Ia adalah refleksi dari pendekatan hidup yang berakar pada nilai-nilai stoisisme modern—sebuah filosofi yang kini semakin relevan di tengah kegaduhan dunia digital dan tuntutan zaman yang serba cepat.
Dalam bukunya yang terkenal The Stoic Capitalist: Advice for the Exceptionally Ambitious (2025), Rosenkranz menyoroti pentingnya kekuatan batin, keheningan strategis, dan kontrol diri sebagai pondasi dari kepemimpinan dan kesuksesan jangka panjang.
Diam Bukan Lemah, Diam Adalah Kekuatan
Bagi sebagian besar orang, diam kerap disalahartikan sebagai kelemahan atau ketidaktahuan. Namun bagi Rosenkranz, diam adalah bentuk kekuasaan tertinggi—sebuah kemampuan untuk tidak terjebak dalam reaksi emosional, tidak terseret dalam arus opini massa, dan tidak ikut menambah kebisingan dunia yang sudah terlalu ramai.
“Ketika dunia berteriak—melalui pasar yang panik, media yang gaduh, atau komentar publik yang menyudutkan—hanya mereka yang bisa tetap tenang dan diam yang mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan terbaik,” ujar Rosenkranz dalam wawancara eksklusifnya dengan Global Leadership Forum.
Diam di sini bukan berarti pasif. Justru sebaliknya, diam adalah proses aktif untuk memproses, menyaring, dan merenung—menjadi benteng pertama dari kebijaksanaan.
Dunia yang Ramai Tidak Selalu Membawa Solusi
Realitas kehidupan modern menuntut respons cepat. Notifikasi berbunyi tanpa henti. Opini publik terus berubah. Media sosial memacu kita untuk selalu bereaksi. Namun dalam kegaduhan itu, Rosenkranz mengingatkan bahwa tidak semua suara perlu didengar, dan tidak semua stimulus perlu ditanggapi.
Ketika kita terlalu reaktif terhadap dunia luar, kita kehilangan otoritas atas dunia dalam—emosi, pemikiran, dan intuisi kita sendiri.
Rosenkranz menyarankan agar dalam situasi genting atau penuh tekanan, seseorang berhenti sejenak, diam, dan bertanya pada diri sendiri: "Apakah ini layak untuk direspons?"
Stoisisme dan Keheningan: Kombinasi Pemimpin Hebat
Filsafat Stoik yang menjadi pijakan pemikiran Rosenkranz mengajarkan pentingnya ataraxia—keadaan batin yang tenang dan tidak terganggu oleh kekacauan dunia. Para filsuf seperti Marcus Aurelius dan Epictetus telah lama menyuarakan nilai keheningan batin sebagai bentuk kekuatan sejati.
Robert Rosenkranz membawa warisan ini ke dunia modern, terutama dalam konteks kepemimpinan dan bisnis. Menurutnya, pemimpin besar tidak terburu-buru berbicara, tetapi mengamati, menganalisis, dan bertindak dengan pertimbangan.
Dalam rapat, negosiasi, atau krisis perusahaan, pemimpin yang bisa menahan diri untuk tidak langsung berbicara atau bereaksi sering kali menjadi penentu arah terbaik.
Studi Kasus: Ketika Diam Menjadi Strategi
Dalam bukunya, Rosenkranz menceritakan kisah seorang CEO startup teknologi yang menghadapi tekanan besar dari media karena isu keamanan data. Alih-alih menggelar konferensi pers tergesa-gesa atau membalas serangan di media sosial, sang CEO memilih untuk diam selama beberapa hari.
Selama masa keheningan itu, timnya menyelidiki masalah, mengumpulkan data, dan merumuskan respons strategis. Hasilnya, ketika akhirnya mereka berbicara, pesan yang disampaikan tegas, akurat, dan disambut baik oleh publik.
Kasus ini menjadi contoh konkret bahwa diam bukan penundaan, melainkan bentuk persiapan. Sebuah keputusan yang lahir dari refleksi akan jauh lebih efektif daripada reaksi spontan yang bisa memperburuk keadaan.
Praktik Keheningan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Rosenkranz juga menyarankan bahwa keheningan bukan hanya untuk momen-momen besar. Dalam keseharian, keheningan bisa diterapkan dalam bentuk:
1. Meditasi Pagi
Menyisihkan 10 menit tanpa distraksi, hanya untuk mendengarkan napas sendiri dan menyusun niat hari ini.
2. Tidak Menanggapi Segera
Ketika menerima pesan atau email yang memicu emosi, tunggu satu jam sebelum menjawab.
3. Berjalan Tanpa Gadget
Luangkan waktu berjalan kaki tanpa musik atau ponsel, hanya untuk menyelaraskan pikiran dan tubuh.
4. Refleksi Harian
Tulis jurnal malam hari untuk mengulas apa saja yang seharusnya tidak perlu Anda tanggapi hari ini.
Menjadi Kuat di Era Bising
Ketika masyarakat semakin mengukur keberhasilan dari seberapa sering seseorang tampil di media atau bicara di ruang publik, Rosenkranz justru menantang paradigma ini. Ia mengingatkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu terlihat. Kekuatan sejati adalah kekuatan yang tenang, yang tertanam dalam disiplin pikiran.
Ia menegaskan bahwa generasi muda, terutama yang berkecimpung dalam dunia kreatif, startup, dan kepemimpinan, perlu membangun kekuatan batin melalui keheningan. Karena dari situlah muncul kejernihan ide, ketegasan sikap, dan keutuhan karakter.
Kesimpulan: Menemukan Diri di Tengah Keheningan
Pernyataan Robert Rosenkranz—"Kekuatan sesungguhnya datang dari kemampuan untuk diam ketika dunia berteriak"—bukan hanya ajakan untuk menjadi pasif, melainkan seruan agar kita mengambil alih kendali atas ruang batin kita sendiri.
Ketika dunia luar terlalu keras, satu-satunya tempat yang bisa kita jaga adalah dunia dalam. Dan ketika kita berhasil menjaganya, kita tidak hanya menjadi kuat, kita juga menjadi pemimpin yang mampu membawa ketenangan di tengah kekacauan.