Marcus Aurelius: Hidup Bukan Baik atau Buruk, Tapi Arena bagi Kebaikan dan Kejahatan

Marcus Aurelius
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Filsuf Romawi sekaligus Kaisar Kekaisaran Romawi, Marcus Aurelius, menyampaikan sebuah pandangan yang menggugah kesadaran manusia tentang makna kehidupan: “Life is neither good or evil, but only a place for good and evil.” Yang berarti, “Hidup bukanlah sesuatu yang baik atau jahat, melainkan tempat bagi kebaikan dan kejahatan untuk hadir.”

“Jangan Kejar Banyak Hal. Kejar Hal yang Penting” – Nasihat Ryan Holiday untuk Hidup Lebih Fokus dan Bermakna

Ungkapan ini lahir dari refleksi Stoik yang mendalam, bahwa kehidupan bersifat netral. Bukan kehidupan itu sendiri yang baik atau buruk, melainkan bagaimana kita memaknai dan merespons segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Kehidupan, menurut Marcus Aurelius, adalah panggung tempat semua karakter — baik yang luhur maupun yang keji — tampil dan saling beradu.

Kehidupan Sebagai Panggung Moral

“Setiap Hari adalah Kesempatan untuk Menjadi Versi Dirimu yang Lebih Baik” – Filosofi Ryan Holiday

Dalam pandangan filsafat Stoik, manusia tidak bisa mengendalikan segala hal yang terjadi di luar dirinya, tetapi ia sepenuhnya bertanggung jawab atas bagaimana ia menanggapi kenyataan. Dengan demikian, kehidupan bukanlah entitas yang bisa kita nilai secara mutlak sebagai baik atau buruk. Ia hanyalah ruang kosong, dan manusialah yang mengisinya dengan tindakan, keputusan, serta nilai-nilai yang ia anut.

Dr. Niken Astari, dosen filsafat dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa kutipan Marcus Aurelius ini adalah ajakan untuk memahami hidup secara lebih objektif dan mendalam. “Alih-alih menghakimi kehidupan sebagai menyenangkan atau menyakitkan, kita diajak untuk melihat bahwa kehidupan adalah ruang moral. Pilihan manusialah yang menciptakan kebaikan atau kejahatan di dalamnya,” ujar Niken.

“Kamu Tidak Bisa Mengontrol Segalanya, Tapi Kamu Selalu Bisa Memilih Bagaimana Kamu Merespons” – Ryan Holiday

Dalam konteks ini, penderitaan, keberuntungan, kebahagiaan, dan kesedihan bukanlah hal yang melekat pada kehidupan itu sendiri, melainkan hasil dari interaksi manusia dengan kehidupan tersebut.

Relevansi di Dunia Modern

Di era modern yang sarat dengan tantangan dan perubahan cepat, banyak orang merasa hidup tidak adil atau bahkan kejam. Namun melalui perspektif Stoik, rasa tidak adil itu bukan berasal dari kehidupan itu sendiri, melainkan dari interpretasi dan pilihan yang manusia buat dalam menjalaninya.

“Kehidupan tidak berniat menyakiti Anda,” ungkap Marcus dalam salah satu catatan pribadinya dalam buku Meditations. “Apa yang menyakitkan hanyalah persepsi Anda sendiri.”

Hal ini selaras dengan tantangan yang sering dihadapi generasi muda saat ini, seperti tekanan sosial, kecemasan eksistensial, serta perasaan tidak memiliki arah. Dalam dunia yang dipenuhi distraksi dan standar kesuksesan artifisial, banyak orang menilai hidup dari aspek luar semata.

Padahal, menurut Marcus Aurelius, hal-hal di luar diri seperti kekayaan, status sosial, atau bahkan penderitaan bukanlah penentu baik buruknya hidup. Yang terpenting adalah bagaimana kita bertindak dan bereaksi secara bijaksana terhadap semua itu.

Menemukan Makna dalam Kehidupan Netral

Jika hidup itu netral — bukan baik atau jahat — maka tugas utama manusia adalah mengisi ruang itu dengan nilai. Kebaikan dan keburukan tidak ditentukan oleh nasib, tetapi oleh pilihan sadar.

Sebagai contoh, seseorang bisa saja lahir dalam kemiskinan, tetapi tetap memilih untuk jujur, bekerja keras, dan berkontribusi bagi masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang hidup berkecukupan bisa saja memilih untuk bersikap angkuh atau berbuat curang.

Dengan demikian, Marcus mengajarkan bahwa makna hidup tidak ditemukan di luar sana, melainkan dibangun secara sadar dari dalam diri.

Kehidupan Sebagai Latihan Etika

Melalui filosofi Stoik, Marcus Aurelius menekankan pentingnya hidup sebagai latihan etika. Segala pengalaman, baik menyenangkan maupun menyakitkan, adalah peluang untuk melatih karakter, memperkuat kebijaksanaan, dan meneguhkan integritas moral.

Dalam dunia kerja, misalnya, seseorang bisa menggunakan tekanan dan tantangan bukan sebagai alasan untuk menyerah atau berlaku curang, melainkan sebagai arena untuk menunjukkan profesionalisme dan ketahanan mental. Dalam keluarga, konflik bisa menjadi kesempatan untuk belajar memahami dan memaafkan. Dalam masyarakat, ketidakadilan bisa menjadi panggilan untuk bertindak dan memperjuangkan perubahan.

Kehidupan, dalam sudut pandang ini, menjadi seperti medan perang tempat nilai-nilai luhur diuji dan diperjuangkan. Kita tidak bisa mengontrol apa yang datang, tetapi kita bisa memilih apa yang kita bawa ke dalam kehidupan.

Penutup: Pilih Peranmu dengan Sadar

Kutipan Marcus Aurelius “Life is neither good or evil, but only a place for good and evil” menjadi pengingat penting bagi siapa saja yang sedang mencari makna dalam hidup. Bahwa hidup tidak serta-merta membuat seseorang bahagia atau sengsara. Hidup hanya menyediakan ruang, dan manusia yang memilih akan seperti apa ruang itu diisi.

Apakah seseorang akan mengisi hidup dengan ketamakan atau kebijaksanaan? Dengan dendam atau kasih sayang? Dengan keluhan atau kontribusi? Semua itu adalah pilihan yang akan menentukan apakah hidup yang netral ini akan menjadi ladang kebaikan atau justru tempat tumbuhnya kejahatan.

Sebagai penutup, filosofi Stoik mengajarkan bahwa ketika kita memilih untuk hidup selaras dengan nilai-nilai luhur — kebajikan, kesederhanaan, keberanian, dan kebijaksanaan — maka kita telah menjadikan hidup ini sebagai tempat bagi kebaikan. Karena pada akhirnya, hidup hanyalah tempat, dan manusialah yang menentukan isi dan arahnya.