Sejarah Kampung Kungfu dan Kisah Buaya Kapasan, Warga Kampung yang Pertahankan Nasionalisme

Kampung Kungfu Kapasan
Kampung Kungfu Kapasan
Sumber :
  • IG/ro_ny278

Surabaya, WISATA – Di balik hingar bingar Jalan Kapasan, terdapat satu lorong sempit yang menyimpan sejarah heroik dan tradisi warisan Tiongkok yakni Kampung Kungfu, atau yang akrab disebut Buaya Kapasan. Nama ini bukan sembarang julukan, melainkan simbol keberanian para pendekar Tionghoa yang menolak dijajah oleh Belanda.

Sejak zaman kolonial, komunitas Tionghoa di sekitar Klenteng Boen Bio dikenal lihai bela diri, khususnya kungfu. Keahlian tersebut membuat Belanda kewalahan menundukkan mereka, sehingga warga sekitar menyebut mereka “Buaya Kapasan” karena kelicikan dan keberanian mereka. Sebenarnya nama awal kawasan ini  adalah Kampung Randu, diambil dari pohon randu (kapas) yang tumbuh lebat, kemudian berkembang menjadi Kampung Kapasan Dalam Simokerto.

Tokoh seperti The Eng Bian dan Tjoa Swie Bie,  dikenal sebagai pemimpin lokal dari Tiongkok yang mengurus warga imigran. Mereka membuka penampungan bagi pendatang dan mendidik mereka dalam beladiri kungfu, membentuk kampung yang mandiri dan berjiwa nasionalis “Indonesia tetap Indonesia”.

Sampai saat ini Kampung Kungfu menjadi bagian dari Wisata Kampung Pecinan, lengkap dengan pertunjukan barongsai dan kungfu. Banyak generasi lanjut yang masih berkumpul di warung kopi sembari melestarikan kisah leluhur. Menurut Donny (Dony) Djung, sesepuh setempat, keahlian kungfu hampir punah karena kurangnya minat dari generasi muda. Meski demikian, ia dan muridnya tetap berlatih di area terbuka berkumpul di balik kelenteng.

Selain bela diri, warga Kapasan juga aktif di medan politik. Pada 10 November 1945, mereka ikut membela Surabaya. Beberapa tokoh berpendidikan Tionghoa bahkan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), dan jurnal publik seperti Sin Tipt Po dan Pewarta Soerabaia lahir dari kampung ini.

Tokoh seperti Liem Koen Hian—wartawan dan pendiri PTI—bersama aktivis seperti Siauw Giok Tjhan membuktikan bahwa Kapasan bukan sekadar pusat dagang, tapi juga pusat intelektualisme dan nasionalisme.

Kawasan ini masih menyimpan bangunan cagar budaya, seperti bekas pos Polisi Sectie V Kapasan, Balai Tong Yien We (rumah sakit darurat dan gudang senjata zaman Belanda), serta gudang kayu ber-bunker yang digunakan semasa pertempuran 10 November 1945. Bagian utara kampung kini menjadi kawasan grosir kain, namun lorong-lorong kecil dan klenteng tua masih menghadirkan nuansa Asia klasik.