Seneca: Ukuran Kekayaan Bukan Soal Banyak, Tapi Tahu Kapan Cukup

- Cuplikan layar
Malang, WISATA - “You ask what is the proper limit to a person’s wealth? First, having what is essential, and second, having what is enough.”
Kalimat ini berasal dari filsuf Stoik Romawi, Lucius Annaeus Seneca, yang dengan sederhana namun dalam menjelaskan ukuran kekayaan sejati. Menurutnya, bukan jumlah atau kelimpahan yang menentukan apakah seseorang benar-benar kaya, melainkan dua hal: apakah ia memiliki yang penting, dan apakah ia tahu kapan merasa cukup.
Dalam masyarakat yang terobsesi dengan pertumbuhan, lebih banyak, lebih besar, lebih cepat—pandangan Seneca menjadi kontras dan sekaligus penyelamat. Ia menyadarkan kita bahwa kejaran tanpa henti terhadap kekayaan bisa menjadi sumber penderitaan jika tidak diiringi kesadaran akan batas dan kebutuhan sejati.
Kekayaan Tak Lagi Bermakna Jika Tak Ada Batas
Kebanyakan orang hidup dalam paradigma “semakin banyak, semakin baik”. Mereka mengejar penghasilan tinggi, menimbun aset, membeli properti, hingga mengoleksi barang-barang mewah—dengan harapan bahwa semua itu membawa kepuasan dan kebahagiaan. Namun, seperti yang dikatakan Seneca, jika seseorang tak tahu apa yang esensial, dan tak pernah merasa cukup, maka sebanyak apa pun yang dimilikinya, ia tetap merasa miskin.
Manusia tidak akan pernah kenyang jika yang ia cari adalah kepuasan dari kepemilikan. Yang satu didapat, yang lain diincar. Yang kecil terpenuhi, yang besar mulai diinginkan. Kekayaan, dalam konteks ini, berubah menjadi beban dan jebakan.
Apa yang Dimaksud "Yang Esensial"?
Seneca menyebutkan dua hal: yang penting (essential) dan tahu kapan cukup (enough). Yang pertama mengacu pada kebutuhan dasar yang memang dibutuhkan untuk hidup layak—makanan sehat, tempat tinggal yang layak, pakaian, akses kesehatan, pendidikan, dan kebebasan dari utang yang membelenggu.
Namun yang esensial juga bisa lebih dari fisik: ketenangan batin, hubungan yang bermakna, waktu untuk merenung, dan makna dalam pekerjaan. Banyak orang mengejar kekayaan demi status sosial, bukan kebutuhan. Dan di sinilah letak kesalahan besar: mereka memperjuangkan hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan, tapi keinginan yang dibungkus sebagai kebutuhan.
Seni Merasa Cukup: Kunci Hidup Damai
Yang kedua, having enough, adalah kunci dari kedamaian hidup. Ketika seseorang mampu berkata “ini sudah cukup”, maka ia membebaskan dirinya dari penderitaan batin. Ia tidak lagi diperbudak oleh keinginan tanpa ujung. Ia bisa menikmati apa yang sudah dimiliki, bukan terus membandingkan dirinya dengan orang lain.
Perasaan cukup tidak datang dari luar, melainkan dari dalam. Orang bisa hidup sederhana namun merasa utuh dan kaya, sementara yang lain bisa dikelilingi kemewahan namun tetap merasa kurang. Itulah mengapa Seneca mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah soal sikap, bukan saldo rekening.
Dampak Sosial dari Ketamakan
Ketika banyak orang hidup tanpa tahu kapan cukup, masyarakat pun terdampak. Kompetisi menjadi toksik. Ketimpangan melebar. Kriminalitas dan kecemasan meningkat. Orang mulai melakukan apa saja demi “lebih”—mengorbankan waktu dengan keluarga, integritas, bahkan kesehatan mental.
Filsafat Seneca tidak hanya relevan secara pribadi, tetapi juga menyentuh keadilan sosial. Jika lebih banyak orang tahu batas yang sehat terhadap kekayaan, maka kesenjangan bisa ditekan, dan distribusi sumber daya bisa lebih adil.
Menjalani Gaya Hidup Stoik: Kaya dalam Kesederhanaan
Gaya hidup Stoik yang diajarkan Seneca sangat cocok untuk era konsumtif saat ini. Beberapa prinsipnya yang bisa kita praktikkan antara lain:
1. Evaluasi Ulang Keinginan
Tanya pada diri sendiri: apakah ini kebutuhan atau hanya dorongan ego?
2. Praktikkan Hidup Sederhana Secara Sukarela
Sesekali, sengaja hidup tanpa kemewahan untuk menguji ketahanan dan mengasah rasa syukur.
3. Fokus pada Nilai, Bukan Barang
Nilai seperti kebaikan, kejujuran, dan kedekatan antarmanusia lebih berharga daripada benda mati.
4. Lepaskan Pembanding
Hidup bukan lomba. Apa yang orang lain miliki bukan indikator atas kebahagiaan kita.
Relevansi Kutipan Seneca di Dunia Modern
Dunia kini diwarnai oleh tren "flexing"—memamerkan kekayaan sebagai identitas sosial. Media sosial menjadi panggung yang memperparah rasa tidak cukup dalam diri banyak orang. Dalam konteks ini, kutipan Seneca menjadi penawar racun yang ampuh.
Alih-alih berlomba tampil kaya, lebih bijak jika kita berlomba memperkaya makna hidup. Alih-alih bertanya “bagaimana caranya lebih kaya dari orang lain?”, sebaiknya kita bertanya, “apa yang benar-benar penting untuk hidupku?” dan “kapan aku merasa cukup?”
Penutup: Jadilah Kaya dengan Menjadi Tahu Batas
“You ask what is the proper limit to a person’s wealth? First, having what is essential, and second, having what is enough.”
Seneca tidak menolak kekayaan. Ia hanya ingin kita mengembalikan kekayaan pada tempatnya: sebagai alat, bukan tujuan. Sebagai pendukung hidup, bukan pengendali hidup. Ia mengingatkan bahwa orang yang tahu kapan berhenti mengejar, justru telah mencapai lebih banyak dari mereka yang tidak pernah puas.
Kekayaan sejati tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Ia adalah rasa damai dalam hati sendiri—saat tahu bahwa yang penting sudah dimiliki, dan yang berlebihan tak perlu lagi dikejar.