Pemikiran Machiavelli: Saat Politik Bertemu Realitas Tanpa Moral

Niccolò Machiavelli (1469–1527)
Niccolò Machiavelli (1469–1527)
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Malang, WISATA - Dalam sejarah filsafat politik, tak ada nama yang lebih erat dikaitkan dengan politik kekuasaan tanpa ilusi moral selain Niccolò Machiavelli. Tokoh kelahiran Florence, Italia, pada 3 Mei 1469 ini dikenal luas berkat karya terkenalnya, Il Principe (The Prince), yang secara blak-blakan memaparkan bahwa politik adalah dunia penuh taktik, manipulasi, dan perhitungan strategis—bukan tempat idealisme atau kebaikan hati.

Berbeda dari pemikir klasik seperti Plato atau Aristoteles yang menjunjung tinggi keutamaan dan etika, Machiavelli justru menekankan realitas yang keras dalam kekuasaan. Ia mengajarkan bahwa pemimpin tidak bisa bersandar pada moralitas semata jika ingin bertahan dalam dunia yang penuh intrik.

Politik Bukan Tentang Kebaikan, Melainkan Tentang Kekuasaan

Pemikiran Machiavelli berpijak pada satu gagasan fundamental: politik adalah seni mempertahankan kekuasaan. Dalam The Prince, ia menyarankan agar seorang penguasa menggunakan segala cara yang diperlukan—termasuk kebohongan, tipu daya, bahkan kekerasan—jika itu berarti menjaga stabilitas negara dan kekuasaannya tetap aman.

Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi:

“Seorang penguasa yang ingin bertahan harus belajar untuk tidak menjadi baik.”

Pernyataan ini mengguncang banyak pemikiran humanis Renaisans. Namun bagi Machiavelli, tujuan akhir dalam politik bukanlah moralitas pribadi, tetapi keberhasilan memimpin dan menjaga negara.