Albert Camus: “At the Heart of All Beauty Lies Something Inhuman” — Ketika Keindahan Menyimpan Dingin yang Tak Terjamah

- Cuplikan layar
"At the heart of all beauty lies something inhuman."
– Albert Camus
Jakarta, WISATA - Bagi sebagian besar manusia, keindahan adalah pengalaman emosional yang hangat — senyuman seorang anak, mentari terbit di ufuk timur, lukisan klasik, atau nyanyian lembut burung di pagi hari. Namun, bagi Albert Camus, pemikir eksistensialis asal Prancis yang terkenal akan pemikirannya yang mendalam dan penuh paradoks, keindahan tidak selalu bersifat manusiawi. Di dalamnya, katanya, justru tersembunyi sesuatu yang tidak manusiawi.
Pernyataan ini mengundang kita untuk bertanya: mengapa keindahan yang begitu memukau justru memiliki inti yang asing dan dingin? Apa maksud Camus dengan “sesuatu yang inhuman” dalam jantung keindahan?
Ketika Keindahan Tak Menyentuh Hati
Albert Camus dikenal karena pandangannya tentang absurditas kehidupan — bahwa manusia mencari makna dalam dunia yang pada dasarnya bisu. Dalam konteks itu, keindahan bukanlah pelipur lara, melainkan cermin dari ketidakpedulian alam terhadap penderitaan manusia.
Bayangkan pemandangan gunung bersalju yang megah. Keindahannya menakjubkan, tetapi juga membekukan. Ia tidak peduli apakah ada yang melihatnya atau tidak. Ia tidak menawarkan penghiburan. Ia hanya ada. Keindahan seperti ini tidak menyapa manusia dengan kasih, tetapi mengingatkan bahwa alam memiliki keagungan yang tidak bergantung pada manusia.
Inilah “sesuatu yang tidak manusiawi” yang dimaksud Camus: dunia yang indah tetapi acuh, alam yang elok tetapi tak peduli, kesunyian kosmik di tengah pencarian makna.
Keindahan sebagai Pengingat akan Absurd
Dalam filsafat absurditas Camus, manusia hidup dalam ketegangan antara kebutuhan akan makna dan dunia yang tidak memberikannya. Keindahan alam, karya seni, bahkan cinta, bisa menjadi momen pencerahan — namun juga ironi. Ia menunjukkan betapa megahnya hidup, tetapi juga betapa asing dan misteriusnya keberadaan.
Keindahan tidak berbicara kepada kita seperti teman. Ia tidak menjawab pertanyaan eksistensial kita. Justru dalam ketidakpeduliannya, ia menyatakan kebenaran yang paling dalam: bahwa manusia harus berdamai dengan dunia yang tidak dirancang untuknya.
Keindahan yang Menyakitkan
Banyak seniman dan penulis telah merasakan sisi dingin dari keindahan. Penyair bisa menangis di hadapan langit senja karena mereka sadar bahwa keindahan itu bersifat sementara, tidak bisa dimiliki, dan akan berlalu. Seniman melukis wajah-wajah penuh emosi, hanya untuk disimpan dalam museum yang hening, di antara patung-patung batu.
Dalam seni, keindahan bisa begitu sempurna hingga terasa tak tersentuh. Ia menjadi simbol ideal, bukan kenyataan. Manusia yang rapuh, fana, dan penuh cacat, tidak selalu menemukan kenyamanan dalam kesempurnaan itu. Sebaliknya, kita justru merasa kecil — terasing — di hadapan kesempurnaan yang terlalu tinggi untuk digapai.
Camus menyadari hal ini. Baginya, keindahan yang terlalu sempurna bisa menjadi pengingat akan keterbatasan manusia, akan jarak yang tak terjembatani antara harapan dan kenyataan.
Mencintai Dunia yang Tak Menyayangimu
Namun, seperti dalam banyak pemikiran Camus, ada juga dorongan untuk berdamai. Meskipun dunia ini indah namun dingin, manusia tetap bisa mencintainya — bukan karena ia ramah, tetapi karena itulah kenyataan yang ada.
Dalam esai terkenalnya The Myth of Sisyphus, Camus menggambarkan Sisyphus sebagai tokoh yang tahu bahwa hidupnya absurd, tetapi ia tetap mendorong batu ke atas bukit. Ia sadar dunia tidak memberinya jawaban, tetapi ia tetap memilih hidup. Begitu juga dalam menghadapi keindahan yang tidak manusiawi, Camus mendorong kita untuk menghargai keheningan, menerima keterasingan, dan menemukan makna dalam tindakan kita sendiri.
Seni dan Estetika yang Jujur
Pernyataan Camus juga memiliki relevansi besar dalam dunia seni dan estetika. Dalam banyak kasus, seni yang paling kuat bukanlah yang berusaha menyenangkan, tetapi yang jujur — yang menggambarkan realitas dengan segala kekerasan dan keheningannya.
Karya-karya seni yang menggugah tidak selalu menyenangkan. Mereka bisa menyakitkan, membuat kita tidak nyaman, tetapi tetap kita sebut “indah”. Karena keindahan tidak selalu tentang kesenangan. Ia tentang kebenaran yang disampaikan dengan jernih, meski terasa pahit.
Inilah keindahan yang mengandung sesuatu yang tidak manusiawi: bukan karena kejam, tetapi karena jujur. Ia tidak memanipulasi, tidak menipu, dan tidak menghibur secara palsu.
Relevansi di Dunia Modern
Di era media sosial saat ini, keindahan sering kali dikemas dalam citra palsu: wajah yang dimanipulasi filter, pemandangan yang disesuaikan dengan algoritma, gaya hidup yang dibalut kemewahan semu. Namun, justru karena terlalu “manusiawi” — dalam arti dipoles dan direkayasa — banyak orang merasa kosong setelah melihatnya.
Camus mengingatkan kita untuk tidak jatuh cinta pada keindahan yang bohong. Keindahan yang sejati, justru memiliki jarak — ia tidak mencoba merayu, tidak berusaha membujuk. Ia hanya hadir, seperti pegunungan yang diam, seperti laut yang tak peduli. Dan dalam keheningan itulah, kita belajar menerima hidup secara utuh.
Penutup: Menemukan Diri di Tengah Keindahan
Mungkin keindahan memang menyimpan sesuatu yang tidak manusiawi. Tapi justru di situlah tantangannya — untuk tetap manusia di tengah dunia yang tidak menawarkan pelukan. Untuk tetap merasa, tetap memilih, dan tetap mencinta meski tahu dunia tidak selalu membalas.
Albert Camus tidak mengajak kita menolak keindahan. Ia hanya ingin kita tidak tertipu olehnya. Ia mengajak kita untuk melihat lebih dalam, dan menemukan kekuatan untuk hidup, bahkan ketika dunia terasa asing