Albert Camus: “Man Is the Only Creature Who Refuses to Be What He Is” — Pemberontakan Abadi dalam Diri Manusia

Albert Camus, L’Étranger (The Stranger)
Albert Camus, L’Étranger (The Stranger)
Sumber :
  • Cuplikan layar

"Man is the only creature who refuses to be what he is."
Albert Camus

Jakarta, WISATA - Pernyataan tajam dan filosofis ini menggambarkan salah satu paradoks terbesar dalam eksistensi manusia. Albert Camus, filsuf Prancis yang dikenal lewat pemikiran tentang absurditas dan pemberontakan (rebellion), tidak sedang mencela manusia, melainkan mengungkapkan kenyataan yang begitu dalam: manusia adalah satu-satunya makhluk yang menolak menjadi dirinya sendiri.

Berlawanan dengan hewan-hewan lain yang hidup berdasarkan naluri dan kodratnya, manusia justru berjuang melawan kodratnya sendiri. Kita bukan hanya ingin hidup—kita ingin tahu mengapa kita hidup. Kita bukan hanya merasa, tetapi juga menganalisis perasaan itu. Kita tidak pernah puas hanya menjadi “ada”. Kita terus bertanya, meragukan, dan melawan batas-batas yang diberikan oleh kehidupan. Inilah yang membedakan manusia, sekaligus menjadi beban eksistensial yang tak ringan.

Penolakan sebagai Ciri Kemanusiaan

Dalam kutipan ini, Camus menyampaikan bahwa penolakan terhadap “apa adanya” adalah ciri khas manusia. Kita menolak untuk pasrah terhadap keadaan, kita memberontak terhadap penderitaan, kita melawan kematian, bahkan melawan kenyataan tentang siapa diri kita.

Bayi menangis saat lahir bukan hanya karena ketidaknyamanan, tetapi juga menjadi simbol pertama dari perlawanan manusia terhadap dunia yang asing. Sejak itu, sepanjang hidup kita diwarnai oleh keinginan untuk menjadi lebih, berubah, memperbaiki diri, atau bahkan menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda.

Camus tidak menyebut ini sebagai kesalahan. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai fakta mendasar yang membentuk identitas manusia. Dalam karya-karyanya seperti The Rebel atau The Myth of Sisyphus, ia menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar akan absurditas hidup, namun tetap memilih untuk melawan ketidakbermaknaan itu.

Pertanyaan Abadi: Siapakah Aku?

Manusia, tak seperti hewan, selalu bertanya: siapa aku? Untuk apa aku ada? Apa makna semua ini? Kita mencari jawaban dalam agama, filsafat, seni, dan sains—tetapi semakin kita mencari, semakin banyak pertanyaan baru yang muncul.

Dalam pencarian itu, manusia sering kali merasa terasing dari dirinya sendiri. Kita menolak menjadi bagian dari sistem yang hanya melihat kita sebagai angka, data, atau objek. Kita ingin menjadi “seseorang”, bukan sekadar “sesuatu”. Penolakan ini justru adalah cermin dari kesadaran dan kebebasan yang unik milik manusia.

Melampaui Kodrat: Antara Harapan dan Kekecewaan

Penolakan terhadap kodrat sering kali memunculkan dua hal sekaligus: harapan dan penderitaan. Di satu sisi, keinginan untuk berubah, tumbuh, dan menjadi lebih baik adalah bahan bakar dari semua pencapaian besar umat manusia. Kita menciptakan teknologi, membangun peradaban, menulis puisi, dan mengeksplorasi alam semesta karena kita menolak diam di tempat.

Namun di sisi lain, keinginan untuk menjadi lebih dari diri kita sendiri juga memunculkan kegelisahan, kecemasan, dan rasa tidak pernah cukup. Kita lelah mengejar kesempurnaan yang tak mungkin diraih, terjebak dalam standar sosial yang tidak manusiawi, hingga kehilangan jati diri dalam usaha untuk “menjadi orang lain”.

Camus menyadari paradoks ini. Maka ia tidak mengajak kita untuk menyerah atau berhenti bermimpi, melainkan untuk menyadari absurditas dari keinginan itu—dan tetap menjalani hidup dengan keberanian.

Manusia sebagai Makhluk Pemberontak

Dalam The Rebel, Camus menulis bahwa pemberontakan manusia muncul dari kesadaran akan ketidakadilan. Tapi pemberontakan yang ia maksud tidak selalu berbentuk politik atau sosial. Pemberontakan bisa berarti penolakan terhadap absurditas hidup—yakni terus hidup, meski tahu bahwa hidup tidak menawarkan jawaban mutlak.

Ketika manusia menolak menjadi dirinya, itu bisa berarti dua hal: pertama, bahwa manusia merasa belum menemukan hakikat sejatinya; kedua, bahwa manusia memang ditakdirkan untuk terus mencari dan mencipta makna bagi dirinya sendiri. Dan dalam proses itu, manusia tidak hanya menjadi makhluk biologis, tetapi juga makhluk yang spiritual dan eksistensial.

Menerima Ketidakpastian, Menjalani Kehidupan

Camus bukanlah seorang pesimis. Ia justru menunjukkan bahwa dalam absurditas, terdapat kebebasan. Karena dunia tidak menawarkan makna tetap, maka manusia bebas untuk menciptakan maknanya sendiri. Penolakan manusia terhadap “apa adanya” bukan bentuk keputusasaan, tetapi justru bentuk tertinggi dari kebebasan dan kemanusiaan.

Artinya, kita bisa menerima bahwa kita belum tahu siapa diri kita sebenarnya, dan tetap melangkah. Kita bisa sadar bahwa hidup ini penuh paradoks, namun tetap mencintainya. Itulah yang Camus sebut sebagai “pengakuan terhadap absurditas sekaligus penolakan untuk tunduk padanya.”

Kesimpulan: Kemanusiaan dalam Pencarian yang Tak Pernah Selesai

Kutipan “Man is the only creature who refuses to be what he is” mengajak kita untuk merenung tentang kondisi eksistensial manusia. Kita bukan makhluk yang puas hidup tanpa makna. Kita bukan makhluk yang tenang dalam kepastian. Justru karena kita sadar bahwa hidup ini tidak sempurna, kita berani bermimpi dan mencipta.

Maka, jika kamu merasa tidak cukup, merasa ingin menjadi lebih dari dirimu saat ini, jangan buru-buru menyalahkan diri. Itu adalah tanda bahwa kamu sedang hidup sebagai manusia seutuhnya—seperti yang Camus pahami: penuh keraguan, penuh pertanyaan, tapi juga penuh keberanian.

Karena mungkin, seperti Camus katakan, kita memang satu-satunya makhluk yang menolak menjadi dirinya sendiri. Dan di situlah letak keindahan dan tragedi manusia: dalam penolakan itulah kita menemukan harapan.