Marcus Aurelius: Jangan Benci Kematian, Sambutlah Ia, Karena Alam Menghendakinya Seperti Segala Sesuatu Lainnya

- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — “Despise not death, but welcome it, for nature wills it like all else.” Demikian kata Marcus Aurelius, filsuf Stoik dan Kaisar Romawi yang masyhur karena kebijaksanaannya dalam menghadapi hidup — dan juga kematian. Dalam dunia yang modern ini, di mana kematian dianggap tabu, menakutkan, dan selalu dihindari pembicaraannya, kalimat ini seakan menantang kita untuk memikirkan ulang bagaimana seharusnya kita memandang akhir kehidupan.
Kematian, dalam filsafat Stoisisme, bukanlah sesuatu yang patut ditakuti. Ia adalah bagian dari hukum alam, sama seperti kelahiran, pertumbuhan, musim, dan perubahan lainnya. Oleh karena itu, Marcus mengajak kita untuk tidak membenci kematian, melainkan menyambutnya sebagai bagian dari siklus kehidupan yang telah digariskan oleh alam itu sendiri.
Memento Mori: Mengingat Kematian untuk Menyadari Hidup
Konsep “memento mori” atau “ingatlah kamu akan mati” menjadi fondasi kuat dalam ajaran Stoik. Bagi Marcus, dengan mengingat kematian secara sadar, manusia justru dapat hidup lebih utuh dan bermakna. Ketika kita tahu bahwa akhir itu pasti datang, maka setiap detik kehidupan akan lebih kita hargai.
Menyambut kematian bukan berarti menyerah atau putus asa, melainkan bentuk penerimaan yang dewasa atas kodrat alamiah manusia. Kita tidak bisa menolak kelahiran, demikian pula kita tidak bisa menghindari kematian. Ia adalah bagian dari pola yang universal, dan justru dalam penerimaan itulah kita menemukan kedamaian.
Alam sebagai Penentu Segala Hal
Kalimat “for nature wills it like all else” mengandung makna mendalam: bahwa segala sesuatu yang terjadi—termasuk kematian—adalah kehendak alam. Jika kita bisa menerima hujan dan kemarau, tawa dan tangis, sukses dan gagal, mengapa kita tidak bisa menerima kematian?