Marcus Aurelius: “Malapetaka yang Dilahirkan dengan Mulia Adalah Keberuntungan”

Marcus Aurelius
Marcus Aurelius
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Jakarta, WISATA – Dalam kehidupan, kita kerap menghadapi berbagai kesulitan dan malapetaka yang seolah membawa beban berat. Namun, Marcus Aurelius, seorang filsuf Stoik dan Kaisar Romawi, mengajarkan pandangan yang berbeda tentang penderitaan dan kesialan. Ia pernah berkata, “Misfortune nobly born is good fortune.” Atau dalam bahasa Indonesia, “Malapetaka yang dilahirkan dengan mulia adalah keberuntungan.”

Makna dari ungkapan ini mungkin terdengar paradoks. Bagaimana mungkin malapetaka, sesuatu yang biasanya dianggap negatif, justru bisa menjadi keberuntungan? Mari kita telaah filosofi ini secara mendalam dan bagaimana hal ini relevan dalam kehidupan modern.

Malapetaka dan Mulia: Dua Hal yang Saling Berlawanan?

Kata “malapetaka” biasa diartikan sebagai musibah, kesulitan, atau kejadian yang membawa penderitaan. Sedangkan “mulia” berkaitan dengan kehormatan, kebajikan, dan kemuliaan batin. Marcus Aurelius tidak membicarakan malapetaka biasa, melainkan jenis malapetaka yang “dilahirkan dengan mulia,” yakni kesulitan yang dihadapi dengan sikap terhormat dan berani.

Dalam konteks Stoik, malapetaka tidak hanya diukur dari beratnya penderitaan, tetapi juga dari bagaimana seseorang meresponsnya. Jika seseorang dapat menerima kesulitan dengan kepala tegak, menjaga kehormatan, dan bertindak sesuai nilai-nilai kebaikan, maka malapetaka tersebut berubah makna menjadi sebuah keberuntungan.

Mengapa Malapetaka Bisa Menjadi Keberuntungan?

Menurut Marcus Aurelius, bukan keadaan luar yang menentukan kebahagiaan dan keberuntungan kita, melainkan cara kita menyikapinya. Malapetaka yang dihadapi dengan mulia berarti kita tidak membiarkan kesulitan tersebut menghancurkan semangat atau nilai-nilai moral kita.

Sebaliknya, kita dapat belajar, bertumbuh, dan menjadi pribadi yang lebih kuat serta bijaksana dari setiap kesulitan yang kita lalui. Sikap ini adalah inti dari filosofi Stoik yang menempatkan pengendalian diri dan penerimaan sebagai jalan menuju ketenangan batin.

Contoh dalam Kehidupan Sehari-hari

Bayangkan seseorang yang mengalami kegagalan dalam karier atau kehilangan orang terkasih. Jika ia terpuruk dan menyerah pada keputusasaan, maka malapetaka itu bisa menjadi beban yang menghancurkan hidupnya. Namun, jika ia mampu menerima kenyataan tersebut dengan kepala tegak, belajar dari pengalaman, dan tetap menjalani hidup dengan integritas, maka kegagalan dan kehilangan itu justru menjadi keberuntungan dalam bentuk pertumbuhan pribadi.

Misalnya, banyak tokoh dunia yang mengalami kegagalan besar sebelum akhirnya mencapai keberhasilan gemilang, karena mereka menghadapi kesulitan dengan sikap mulia dan pantang menyerah.

Relevansi Filosofi Marcus Aurelius di Era Modern

Di zaman yang penuh ketidakpastian dan perubahan cepat ini, kita semua tidak lepas dari ujian dan malapetaka. Pesan Marcus Aurelius mengingatkan kita bahwa keberuntungan tidak selalu datang dalam bentuk keberhasilan instan atau kemudahan, melainkan juga dalam kemampuan kita menghadapi tantangan dengan sikap mulia.

Bagi masyarakat Indonesia, yang tengah berjuang membangun bangsa dengan berbagai dinamika sosial dan ekonomi, filosofi ini sangat relevan. Menghadapi tantangan dengan integritas dan semangat pantang menyerah adalah kunci untuk meraih keberuntungan sejati.

Bagaimana Menerapkan Filosofi Ini dalam Hidup?

1.     Terima Kesulitan dengan Lapang Dada
Jangan menolak atau menghindari malapetaka, tetapi hadapilah dengan ketenangan dan sikap terbuka.

2.     Pertahankan Nilai-Nilai Moral
Walau dalam situasi sulit, jangan kompromi pada prinsip dan integritas.

3.     Belajar dan Bertumbuh
Jadikan setiap pengalaman pahit sebagai pelajaran berharga untuk masa depan.

4.     Bangkit dengan Semangat Baru
Gunakan malapetaka sebagai dorongan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Kesimpulan: Malapetaka yang Dilahirkan dengan Mulia adalah Keberuntungan Sejati

Ungkapan Marcus Aurelius mengajarkan kita bahwa malapetaka tidak selalu menjadi akhir dari segalanya. Ketika kita mampu menyikapi kesulitan dengan sikap mulia—yaitu berani, jujur, dan berintegritas—maka malapetaka tersebut justru menjadi bentuk keberuntungan yang membawa kebijaksanaan dan ketenangan.

Mari jadikan filosofi ini sebagai pegangan hidup untuk menghadapi tantangan zaman, sehingga kita bisa mengubah setiap kesulitan menjadi keberuntungan yang bermakna.