Filsafat yang Hidup: Warisan Dialog Plato yang Tak Pernah Selesai

- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA — Di tengah dominasi filsuf-filsuf sistematik seperti Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant, nama Plato justru mencuat sebagai tokoh yang lebih eksploratif, penuh teka-teki, dan nyaris tak pernah memberi jawaban final. Meski banyak gagasannya sering dikutip sebagai inti filsafatnya—seperti dunia forms, jiwa yang abadi, dan pencarian akan kebaikan sejati—namun pembaca yang cermat menyadari bahwa karya-karya Plato jauh dari sekadar kumpulan doktrin siap pakai.
Alih-alih menampilkan sistem pemikiran yang tertutup dan tuntas, Plato kerap justru menunjukkan keraguan dan kebingungan terhadap gagasan yang ia ajukan sendiri. Dalam Phaedo, misalnya, bentuk-bentuk atau forms dijelaskan sebagai hipotesis, bukan kebenaran mutlak. Dalam Republic, bentuk Goodness digambarkan sebagai misteri besar yang hakikat sejatinya belum diketahui oleh siapa pun. Sementara dalam Parmenides, Plato meragukan apakah bentuk-bentuk itu benar-benar bisa dipahami, dan mempertanyakan bagaimana kita bisa berbicara tentang mereka tanpa jatuh dalam kontradiksi.
Pertanyaan-pertanyaan rumit juga muncul dalam Theaetetus mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan “mengetahui,” dan dalam Cratylus tentang bagaimana kita bisa menamai sesuatu dengan benar. Namun yang paling menarik adalah bahwa Plato jarang memberikan jawaban final atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia lebih memilih membuka ruang kontemplasi dan debat, menyerahkan penyelesaian pada para pembacanya.
Kekuatan Plato terletak pada kemampuannya merangkai dialog filosofis yang bukan hanya mencerdaskan, tetapi juga menggugah secara emosional dan artistik. Tokoh-tokoh seperti Socrates tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi sebagai penggali makna bersama—mengajak pembaca untuk berpikir, mempertanyakan, dan meragukan. Ini menjadikan setiap karya Plato bukan hanya bacaan, melainkan pengalaman intelektual.
Berbeda dengan filsuf-filsuf sistematik lainnya, Plato tidak memberikan sistem tertutup yang siap diterima begitu saja. Ia hanya menyodorkan ide-ide besar dan membiarkan para pembaca merangkai sendiri pemahamannya, dengan menjadikan filsafat sebagai proses yang aktif, terbuka, dan tak pernah selesai. Inilah sebabnya banyak akademisi dan penggemar filsafat menganggap Plato sebagai titik awal terbaik untuk memahami filsafat—bukan karena semua jawabannya telah tersedia, tetapi karena ia mengajarkan cara berpikir yang kritis, terbuka, dan dinamis.
Beberapa karya Plato yang secara eksplisit menampilkan pendekatan ini adalah Euthyphro, Laches, Charmides, Euthydemus, Theaetetus, dan Parmenides. Dialog-dialog ini menyajikan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, dan seringkali berakhir tanpa kesimpulan yang tegas. Namun justru di situlah letak kekuatannya: mereka memperlihatkan filsafat sebagai kegiatan hidup yang senantiasa berkembang.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, warisan Plato tetap relevan: bukan karena ia memberi kita doktrin pasti, tetapi karena ia mengajarkan cara berpikir yang terus menggali, mempertanyakan, dan mengejar kebenaran. Dalam setiap dialognya, Plato seolah berkata bahwa filsafat bukanlah jawaban, melainkan jalan menuju pemahaman yang lebih dalam—dan bahwa perjalanan itu tak pernah benar-benar selesai.