Apa yang Terjadi di Pengadilan Socrates? Mengapa Athena Menjatuhkan Hukuman Mati?

Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Pengadilan Socrates pada tahun 399 SM adalah salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah filsafat dan politik Yunani kuno. Dikenal sebagai seorang filsuf besar yang telah mengajarkan cara berpikir kritis dan mempertanyakan nilai-nilai sosial yang ada, Socrates justru dihadapkan pada pengadilan di Athena, kota yang menjadi pusat dari peradaban dan demokrasi pada masa itu. Keputusan pengadilan ini mengarah pada hukuman mati bagi Socrates dengan cara meminum racun hemlock. Apa sebenarnya yang terjadi dalam pengadilan ini? Mengapa Socrates, seorang pemikir yang dihormati, dijatuhi hukuman mati oleh kotanya sendiri?

Tuduhan-Tuduhan terhadap Socrates

Socrates dihadapkan pada dua tuduhan utama: merusak pikiran pemuda Athena dan tidak menghormati para dewa yang diakui negara. Tuduhan pertama menyatakan bahwa ajaran Socrates telah merusak pikiran generasi muda, membuat mereka menentang otoritas dan tradisi yang ada. Socrates terkenal karena menggunakan metode tanya jawab, yang kemudian dikenal sebagai metode Socratic, untuk mendorong orang berpikir kritis dan mengevaluasi kepercayaan mereka sendiri. Metode ini dianggap sebagai ancaman bagi otoritas politik dan sosial yang berlaku saat itu.

Tuduhan kedua adalah penistaan agama, yaitu bahwa Socrates tidak mengakui para dewa yang dihormati oleh negara Athena dan memperkenalkan entitas baru. Entitas ini adalah "daimonion," sebuah suara batin yang diklaim oleh Socrates sebagai petunjuk dari kekuatan ilahi. Banyak orang Athena melihat keyakinan ini sebagai upaya untuk menggantikan dewa-dewa tradisional dengan ajaran baru, yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat yang sangat religius pada waktu itu.

Proses Pengadilan Socrates

Pengadilan Socrates diadakan di hadapan juri yang terdiri dari 501 warga Athena yang dipilih secara acak. Dalam sistem peradilan Athena, proses pengadilan bersifat terbuka dan dihadiri oleh banyak warga yang tertarik dengan kasus tersebut. Socrates, yang mewakili dirinya sendiri tanpa pengacara, menggunakan kesempatan ini untuk mengutarakan pembelaannya.

Pembelaannya, yang diabadikan oleh muridnya Plato dalam dialog berjudul Apology, menunjukkan bagaimana Socrates dengan tegas menolak tuduhan-tuduhan tersebut. Dalam pidatonya, Socrates menyatakan bahwa ia tidak pernah merusak pemikiran pemuda Athena, melainkan justru mengajarkan mereka untuk berpikir kritis dan mencari kebenaran. Ia juga menegaskan bahwa keyakinannya pada "daimonion" tidak berarti ia menolak keberadaan para dewa, melainkan bahwa suara batin tersebut adalah bentuk dari komunikasi ilahi.