Mengapa Socrates Percaya pada Jiwa Abadi: Bukti atau Kepercayaan Semata?

Suasana Penjara Socrates Jelang Hukuman Mati
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Keyakinan Socrates tentang jiwa abadi tidak bisa dipisahkan dari pandangannya tentang kebajikan. Baginya, kebajikan adalah hasil dari jiwa yang terpelihara dan bersih dari godaan-godaan duniawi. Socrates percaya bahwa orang yang menjalani kehidupan yang bajik dan bermoral akan memiliki jiwa yang bersih dan karenanya, akan mengalami kehidupan setelah mati yang lebih baik.

Dalam pandangannya, kebajikan tidak bisa diperoleh tanpa pengetahuan yang benar, dan pengetahuan ini adalah sesuatu yang inheren dalam jiwa. Jadi, jiwa bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga sumber kebijaksanaan dan moralitas. Oleh karena itu, kepercayaan pada jiwa abadi bukan hanya masalah eksistensi, tetapi juga terkait erat dengan pandangan Socrates tentang bagaimana manusia harus hidup di dunia ini.

Relevansi Keyakinan Socrates di Zaman Modern

Di zaman modern, kepercayaan pada jiwa abadi sering kali terpisah antara pandangan religius dan pandangan ilmiah. Meskipun banyak tradisi keagamaan di seluruh dunia yang percaya pada kehidupan setelah mati, ilmu pengetahuan modern belum menemukan bukti empiris yang mendukung pandangan ini. Namun, filsafat Socrates tetap relevan karena ia menekankan pentingnya pengetahuan diri dan moralitas sebagai cara untuk memahami lebih dalam tentang jiwa dan keberadaan manusia.

Socrates tidak pernah mengklaim memiliki bukti mutlak tentang kehidupan setelah mati. Sebaliknya, ia mendorong orang-orang untuk mencari kebenaran melalui refleksi diri dan dialog. Dalam hal ini, metode Socratic tetap menjadi alat yang kuat bagi orang-orang yang ingin memahami lebih dalam tentang kehidupan, jiwa, dan apa yang terjadi setelah kematian.

Kritik Terhadap Pandangan Socrates

Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan Socrates tentang jiwa abadi. Kritikus berpendapat bahwa filsafatnya terlalu spekulatif dan tidak didukung oleh bukti yang konkret. Banyak filsuf setelahnya, termasuk Aristoteles, berusaha memisahkan jiwa dari gagasan tentang kehidupan setelah mati dan lebih fokus pada aspek-aspek psikologis dan biologis dari jiwa manusia.