Paulo Freire: Ketika yang Tertindas Berubah Menjadi Penindas

- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Dalam dunia pendidikan dan perjuangan sosial, sedikit kutipan yang sekuat dan setajam pernyataan Paulo Freire ini:
“Orang-orang yang ditekan, jika benar-benar menginternalisasi citra penindas dan mengadopsi pedoman mereka, cenderung menjadi penindas pada gilirannya.”
Kutipan ini muncul dalam buku legendaris Freire, Pedagogy of the Oppressed, yang telah menjadi panduan penting dalam memahami dinamika penindasan dan pembebasan dalam pendidikan serta masyarakat luas. Freire mengingatkan bahwa penindasan bukan hanya soal struktur luar, tapi juga soal bagaimana struktur itu menanamkan cara berpikir ke dalam jiwa orang-orang yang tertindas.
Dari Tertindas Menjadi Penindas
Freire menjelaskan bahwa salah satu bahaya besar dalam proses pembebasan adalah ketika orang yang tertindas justru meniru perilaku dan pola pikir penindas. Proses ini bisa terjadi secara halus dan tanpa disadari. Ketika seseorang tumbuh dalam sistem yang menindas, ia kerap belajar bahwa cara satu-satunya untuk memiliki kuasa adalah dengan meniru perilaku mereka yang dulu menindasnya.
Alih-alih membangun dunia yang lebih adil dan setara, ia malah mengulang pola kekuasaan yang menindas. Maka tak jarang, dalam sejarah, revolusi yang dipimpin oleh kelompok tertindas justru melahirkan tirani baru, karena para pemimpinnya menginternalisasi struktur kekuasaan lama.
Internalisasi Citra Penindas
Apa yang dimaksud Freire dengan “menginernalisisasi citra penindas”? Ini berarti seseorang mulai melihat dunia, orang lain, dan dirinya sendiri dengan kacamata penindas. Ia mulai mempercayai bahwa kekuasaan, otoritas, dan kendali atas orang lain adalah cara satu-satunya untuk mendapat tempat dalam masyarakat.
Dalam konteks pendidikan, hal ini tampak dalam sistem belajar yang meniru model otoriter. Seorang guru, yang dulunya mungkin mengalami ketertindasan dari sistem pendidikan yang kaku dan represif, ketika menjadi pengajar, bisa saja mengulang cara yang sama: menekan murid, melarang bertanya, menanamkan ketakutan, dan menuntut kepatuhan mutlak.
Alih-alih menciptakan ruang pembelajaran yang membebaskan dan dialogis, ia tanpa sadar menjadi bagian dari sistem penindasan baru.
Mengapa Ini Terjadi?
Freire percaya bahwa proses ini terjadi karena penindasan mencabut otonomi dan martabat manusia. Orang yang tertindas tidak hanya dirampas haknya, tetapi juga kehilangan rasa percaya diri, harga diri, dan visinya tentang dunia yang lebih baik. Dalam situasi seperti itu, meniru penindas tampak sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali rasa kuasa dan kontrol atas hidup.
Namun, ini adalah jebakan. Karena jika pembebasan hanya berarti berganti posisi dari tertindas menjadi penindas, maka tidak ada perubahan sejati. Dunia akan tetap berjalan dalam lingkaran kekerasan, dominasi, dan ketidakadilan.
Pendidikan sebagai Jalan Kritis
Pendidikan, menurut Freire, harus menjadi ruang refleksi kritis yang membantu manusia keluar dari jebakan ini. Pendidikan yang membebaskan bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi tentang memahami struktur penindasan dan bagaimana menghindari mengulangnya.
Proses ini membutuhkan dialog, kesadaran diri, serta keberanian untuk membongkar kebiasaan berpikir yang telah tertanam sejak lama. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pendamping dalam proses kesadaran. Murid bukan hanya penerima ilmu, tetapi subjek aktif yang memahami realitasnya dan merancang masa depan yang lebih adil.
Relevansi di Indonesia
Kutipan Freire sangat relevan dengan realitas pendidikan dan sosial di Indonesia. Banyak anak muda yang berasal dari latar belakang terpinggirkan, ketika berhasil "naik kelas" secara sosial atau ekonomi, justru terjebak dalam pola kekuasaan yang menindas.
Misalnya, siswa yang dulu mengalami sistem belajar yang keras dan penuh hukuman, saat menjadi guru atau pejabat sekolah, cenderung mengulang pola yang sama. Begitu pula pemimpin yang berasal dari kelompok tertindas, ketika memegang kekuasaan, justru menindas kelompok lain demi mempertahankan posisinya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa kesadaran kritis, pembebasan bisa berubah menjadi dominasi baru.
Jalan Menuju Transformasi Sejati
Transformasi sejati hanya bisa terjadi jika proses pembebasan juga mencakup transformasi kesadaran. Pendidikan harus membantu individu menyadari bahwa kekuasaan bukan untuk menundukkan orang lain, tetapi untuk membangun hubungan yang setara dan bermartabat.
Freire menekankan pentingnya dialog dan cinta dalam pendidikan. Seorang pendidik sejati tidak melihat muridnya sebagai objek, tetapi sebagai sesama manusia yang punya potensi untuk berkembang. Begitu pula dalam masyarakat, pembebasan hanya bisa terjadi jika hubungan antarindividu didasarkan pada rasa saling menghargai, bukan saling mendominasi.
Refleksi untuk Kita Semua
Kutipan ini mengajak kita semua untuk melakukan refleksi mendalam: apakah kita, dalam peran kita sebagai guru, pemimpin, orang tua, atau warga negara, sedang mengulang pola penindasan yang dulu pernah kita alami?
Apakah kita sadar bahwa kekuasaan bukan tujuan, melainkan alat untuk menciptakan dunia yang lebih adil? Apakah kita berani membongkar cara berpikir lama dan membangun cara baru yang lebih manusiawi?
Freire tidak menawarkan solusi instan, tetapi menawarkan kesadaran. Dan dari kesadaran itulah, perubahan sejati bisa dimulai.
Penutup: Hati-hati dengan Cermin Penindas
“Orang-orang yang ditekan, jika benar-benar menginternalisasi citra penindas dan mengadopsi pedoman mereka, cenderung menjadi penindas pada gilirannya.”
Peringatan ini adalah cermin tajam untuk semua gerakan sosial, institusi pendidikan, dan individu yang ingin membawa perubahan. Jangan sampai kita hanya mengganti wajah penindas, tetapi tetap mempertahankan logika penindasan.
Pendidikan, jika dijalankan dengan hati dan kesadaran kritis, bisa membantu kita membebaskan diri—bukan hanya dari struktur luar, tetapi juga dari cara berpikir yang menindas dalam diri kita sendiri.