Soeharjono Gigih Perjuangkan Pekerja Platform Digital di ILC 2025 Jenewa, Ini Alasan di Baliknya

Soeharjono Saat Diwawancarai di ILO Jenewa
Soeharjono Saat Diwawancarai di ILO Jenewa
Sumber :
  • Handoko/Istimewa

Jenewa, Swiss – Di tengah dinginnya udara Pegunungan Alpen yang mengelilingi kota Jenewa, suara dari Indonesia menggema lantang di ruang-ruang konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Suara itu milik Soeharjono, Direktur Eksekutif SADA (Solidaritas dan Advokasi Pekerja), yang memperjuangkan satu isu yang kini menyentuh jutaan nyawa di Indonesia: perlindungan dan kesejahteraan pekerja platform digital.

Sebagai bagian dari delegasi buruh Indonesia dalam Konferensi Buruh Internasional ke-113 yang diselenggarakan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), Soeharjono membawa misi penting untuk mengubah cara dunia memandang dan memperlakukan para pekerja di balik layar aplikasi: mulai dari pengemudi ojek daring, kurir makanan cepat saji, tenaga freelance kreatif, hingga content creator.

Dengan tema utama konferensi yang tahun ini membahas Platform Economy, Formalisasi Pekerja Informal, dan Bahaya Biologis di Tempat Kerja, perjuangan Soeharjono menjadi sangat kontekstual dan relevan — bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia.

Mengapa Soeharjono Fokus pada Pekerja Digital?

Pertanyaan ini langsung dijawab oleh Soeharjono dalam salah satu sesi media briefing di sela konferensi yang berlangsung dari 2 hingga 13 Juni 2025. Ia menjelaskan bahwa pekerja platform digital kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia.

"Bayangkan, kita setiap hari memesan makanan lewat aplikasi, memanggil ojek daring, atau bahkan menyewa jasa penerjemah online. Tapi pernahkah kita bertanya, apakah orang-orang di balik layanan itu punya jaminan sosial? Apakah mereka dilindungi saat jatuh sakit? Apakah mereka punya hak libur?" tanya Soeharjono retoris.

Fakta yang disodorkannya cukup mencengangkan: menurut hasil survei SADA di enam kota besar Indonesia, lebih dari 82% pekerja digital tidak memiliki perlindungan jaminan kesehatan maupun ketenagakerjaan, dan hampir 70% tidak punya kontrak kerja tertulis.

Dari Akar Rumput ke Panggung Global

Perjalanan Soeharjono dalam dunia advokasi buruh bukan hal baru. Sebagai mantan staf teknis di ILO, ia memahami betul seluk-beluk regulasi ketenagakerjaan internasional. Namun sejak kembali ke Indonesia dan memimpin SADA, Soeharjono lebih memilih berada di garis depan — turun ke lapangan, menyapa para pekerja digital, mendengarkan keluhan mereka, dan memperjuangkan solusi kebijakan.

SADA kini telah menjadi pusat advokasi pekerja digital di Indonesia. Mereka aktif memberi pendampingan hukum kepada mitra aplikasi yang dipecat sepihak, mengadakan pelatihan literasi digital dan hukum buruh, serta mendesak pemerintah agar mengakui status pekerja platform sebagai pekerja tetap — bukan sekadar "mitra".

"Yang kita perjuangkan di sini bukan hanya perubahan regulasi, tapi perubahan paradigma. Dunia harus mengakui bahwa meski bekerja lewat aplikasi, mereka tetap buruh. Dan buruh, adalah manusia yang punya hak dasar," tegas Soeharjono.

ILC 2025: Saatnya Dunia Mendengar

Dalam sidang komite “Platform Economy” di ILC 2025 Jenewa, Soeharjono menjadi satu dari sedikit perwakilan buruh dari negara berkembang yang berbicara lantang. Ia menyampaikan bahwa ekonomi digital di Global South berkembang sangat cepat, namun justru tanpa perlindungan hukum yang memadai.

“Di Indonesia, tidak ada batas jam kerja bagi mitra aplikasi. Mereka bisa bekerja 12 jam sehari untuk sekadar mendapat penghasilan cukup. Tidak ada upah minimum, tidak ada cuti, tidak ada jaminan saat sakit. Ini perbudakan gaya baru,” katanya.

Soeharjono menyerukan agar ILO segera membuat konvensi internasional yang mengikat seluruh negara anggota untuk menetapkan standar perlindungan minimum bagi pekerja digital. “Rekomendasi saja tidak cukup. Kita butuh hukum internasional yang tegas.”

Pekerja Digital: Potret Nyata Ekonomi Informal Modern

Konferensi ILO tahun ini juga membahas formalisasi pekerja informal, yang menurut Soeharjono sangat erat kaitannya dengan pekerja digital. "Mereka ini bukan sekadar informal, mereka adalah bentuk baru informalitas — yang terbungkus teknologi, tetapi rapuh di dalam," ungkapnya.

Sebagai pembanding, Soeharjono menyebut negara-negara seperti Spanyol dan Portugal yang sudah mulai mengakui pekerja platform sebagai pekerja tetap. Bahkan di Inggris, Uber telah diwajibkan oleh Mahkamah Agung untuk memberikan hak cuti dan gaji minimum bagi para pengemudi.

“Jika negara-negara itu bisa, mengapa Indonesia tidak?” tantangnya.

Bukan Hanya Bicara, Tapi Bertindak

Di luar forum resmi, Soeharjono juga bertemu dengan delegasi buruh dari negara lain, termasuk Filipina, India, dan Brasil, untuk membentuk koalisi lintas negara yang memperjuangkan perlindungan pekerja digital di Global South.

"Kita punya masalah yang sama. Model bisnis platform ini eksploitatif secara sistemik. Satu-satunya cara melawan adalah bersatu secara global," tegasnya.

Harapan untuk Indonesia dan Dunia

Ketika Konferensi Buruh Internasional 2025 berakhir nanti, Soeharjono tidak ingin pulang dengan tangan kosong. Ia ingin pulang membawa hasil: pengakuan internasional atas hak pekerja digital, dan dorongan kuat agar pemerintah Indonesia segera bertindak.

"Jika dunia mau jujur, maka mereka harus akui bahwa ekonomi masa depan tidak bisa dibangun di atas penderitaan pekerja platform. Kita butuh sistem baru, yang adil dan manusiawi," tutupnya.