Kisah Para Sufi: Ruzbihan Baqli, Sufi yang Menulis dengan Air Mata dan Cinta Mendalam

Perjalanan Sufi
Perjalanan Sufi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA — Di antara sekian banyak tokoh sufi besar yang menghiasi sejarah Islam, nama Ruzbihan Baqli al-Shirazi menempati tempat tersendiri. Ia dikenal bukan hanya karena kedalaman ilmu dan spiritualitasnya, tetapi karena gaya bahasa cintanya yang lembut, melankolis, dan sangat puitis. Ruzbihan adalah sufi yang menulis dengan air mata dan cinta mendalam. Setiap kata-katanya seolah disusun bukan dengan pena, melainkan dengan detak jantung seorang pecinta Tuhan.

Lahir pada tahun 1128 M di kota Shiraz, Persia, Ruzbihan tumbuh dalam lingkungan yang religius. Namun, ia tidak langsung menjadi seorang sufi. Seperti banyak pencari Tuhan sejati, jalan spiritualnya penuh liku, tangis, dan pengembaraan batin yang panjang. Dalam salah satu kisahnya, ia mengaku mengalami pengalaman mistik luar biasa sejak usia 15 tahun. Ia melihat cahaya, mendengar panggilan Ilahi, dan merasakan kerinduan yang tak tertahankan pada Sang Kekasih Abadi.

Cinta Sebagai Jalan Menuju Tuhan

Bagi Ruzbihan, cinta adalah jalan utama dalam mendekat kepada Tuhan. Bukan sekadar perasaan sentimental, tetapi cinta yang total, yang meluluhkan ego, menghancurkan batas logika, dan membawa ruh menuju maqam fana—lenyap dalam kehendak-Nya. Ia menulis:

“Cinta bukan sekadar emosi. Ia adalah api yang membakar segala selain Tuhan.”

Ungkapan ini mewakili seluruh jalan hidupnya. Dalam cinta, tidak ada ruang bagi kesombongan atau kehendak pribadi. Yang tersisa hanyalah pasrah dan kekaguman yang tiada habis kepada Sang Maha Indah.

Ruzbihan menyampaikan ajaran-ajarannya dalam bentuk syair, puisi, dan prosa yang bergetar oleh perasaan. Ia tidak menggunakan kata-kata besar atau terminologi rumit seperti filsuf. Sebaliknya, ia memilih bahasa hati, agar pesannya bisa langsung menyentuh jiwa siapa pun yang membacanya.

Dhiya al-Lami’: Buku Puitis yang Melelehkan Hati

Salah satu karya terkenalnya adalah Dhiya al-Lami’ (Cahaya yang Bersinar), yang merupakan otobiografi spiritual sekaligus catatan pengalaman mistiknya. Dalam buku ini, Ruzbihan tidak ragu menceritakan penglihatannya tentang kehadiran Tuhan, dialog ruhani dengan para nabi dan wali, hingga pengalaman-pengalaman ekstatis yang tak terlukiskan.

Meskipun pengalaman tersebut sulit dijelaskan dengan kata-kata, Ruzbihan berhasil menggambarkannya dengan keindahan puisi, seolah ia sedang melukis langit malam dengan tinta keemasan cinta Ilahi.

Kitab lainnya yang terkenal adalah Sharh Shathiyyat, sebuah penjelasan mendalam terhadap ungkapan-ungkapan spiritual para sufi besar sebelumnya, termasuk al-Hallaj dan Bayazid Bistami. Ruzbihan tidak sekadar menjelaskan, tetapi menghidupkan kembali makna-makna cinta dan ekstase yang tertuang dalam kalimat-kalimat suci itu.

Melampaui Simbol: Menemukan Tuhan dalam Segalanya

Ruzbihan juga dikenal karena kemampuannya melihat kehadiran Tuhan dalam segala hal. Baginya, langit bukan sekadar atap bumi, melainkan tirai yang menyembunyikan keindahan Tuhan. Bunga bukan hanya tumbuhan, tapi lambang kasih sayang-Nya. Matahari bukan hanya sumber cahaya, tapi juga perumpamaan tentang bagaimana cinta sejati harus terus bersinar meski membakar diri sendiri.

Dalam syair-syairnya, ia sering menggunakan metafora seperti angin, mawar, air, atau burung untuk menggambarkan kerinduan dan perjalanan spiritual. Setiap unsur alam adalah simbol dari kehadiran Ilahi. Ia menulis:

“Angin yang menyentuh wajahku tadi pagi adalah sapaan dari Kekasihku.”

Ungkapan ini tampak sederhana, namun menyimpan kedalaman spiritual yang menggetarkan. Inilah gaya khas Ruzbihan: melukis Tuhan dalam kata-kata yang manis dan penuh rindu.

Kesunyian dan Tangisan: Dua Sahabat Ruhani

Seperti banyak sufi lainnya, Ruzbihan menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesunyian. Ia tidak mencari popularitas atau kekuasaan. Ia lebih suka menyendiri di mihrabnya, berdzikir dalam diam, dan menulis di tengah tangisan malam. Ia percaya bahwa air mata adalah tinta paling jujur dalam menulis cinta kepada Tuhan.

Kehidupannya juga diwarnai banyak ziarah dan kunjungan spiritual. Ia pernah berkelana ke Makkah dan menghabiskan waktu yang lama dalam perenungan di sana. Ketika kembali ke Shiraz, ia mendirikan zawiyah (tempat sufi berkumpul) dan membimbing murid-murid yang ingin belajar mencintai Tuhan melalui jalan sunyi.

Namun, meski menjadi guru, Ruzbihan tidak pernah menempatkan dirinya sebagai tokoh besar. Ia selalu menyebut dirinya sebagai “pencinta kecil” atau “hamba yang lemah.” Ini adalah cermin dari kerendahan hati yang begitu kuat—sebuah karakter utama para sufi sejati.

Warisan yang Tak Pernah Padam

Hari ini, lebih dari 800 tahun setelah wafatnya, ajaran dan puisi Ruzbihan masih hidup. Banyak peneliti modern dan pecinta tasawuf yang menjadikan karyanya sebagai sumber inspirasi. Bahkan di era digital ini, kutipan-kutipan Ruzbihan sering bertebaran di media sosial, menjadi pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang haus akan makna sejati.

Di Shiraz, makamnya masih dikunjungi para peziarah. Di ruang sunyi tempat ia dahulu menulis dan berdoa, kini orang-orang duduk bersila, mengalunkan dzikir, dan merasakan getaran cinta yang sama seperti yang dulu memenuhi dada sang sufi.

Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Inggris, Prancis, dan Indonesia. Dan yang paling menakjubkan, pesan-pesannya tetap relevan: bahwa di tengah keramaian dunia, kita selalu bisa kembali kepada Tuhan lewat jalan cinta yang tulus.

Menemukan Tuhan di Tengah Hati yang Luruh

Apa yang bisa kita pelajari dari Ruzbihan Baqli?

Bahwa Tuhan tidak perlu dicari jauh-jauh. Ia hadir dalam setiap napas, setiap bunga yang mekar, setiap air mata yang jatuh karena rindu. Tuhan ada di dalam hati yang jujur, di dalam cinta yang tidak meminta balasan, di dalam kata yang dibisikkan di tengah malam saat dunia tertidur.

Ruzbihan mengajarkan kita bahwa menjadi pecinta Tuhan bukan berarti harus menjadi ulama besar atau ahli debat. Cukup dengan hati yang penuh rindu dan niat untuk mendekat. Cukup dengan menulis atau berbicara kepada-Nya, meski hanya dalam diam dan tangis.

Penutup

Ruzbihan Baqli bukan hanya sufi penyair. Ia adalah penjaga rahasia cinta yang terdalam dalam tradisi Islam. Dalam setiap puisinya, kita tidak hanya menemukan keindahan sastra, tetapi juga jalan pulang menuju Tuhan. Ia telah mengajarkan bahwa spiritualitas sejati bukan hanya soal hukum dan dalil, tapi juga soal rasa, kerinduan, dan air mata.

Di tengah dunia modern yang cepat dan bising, ajaran Ruzbihan adalah panggilan untuk kembali melambat, mendengarkan batin, dan mencintai Tuhan tanpa syarat—sebagaimana para kekasih sejati selalu lakukan.