Kisah Para Sufi: Maulana Rumi dan Shams, Dua Jiwa dalam Satu Cinta kepada Sang Kekasih

Shams Tabrizi
Shams Tabrizi
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Hilangnya Shams, entah karena pergi atau dibunuh, menjadi sumber kesedihan sekaligus pencerahan terbesar bagi Rumi. Ia tak mencari Shams dengan jasad, melainkan dengan hati. Dari kesedihan mendalam itulah lahir ribuan bait puisi dalam Diwan-e Shams-e Tabrizi dan karya agung Masnawi, yang dikenal sebagai Qur’an dalam bahasa Persia.

Rumi menemukan bahwa Shams hidup dalam dirinya, bahwa cinta kepada makhluk telah membimbingnya kepada cinta mutlak kepada Sang Khalik. Ia menulis:

“Apa yang kulihat dalam Shams adalah wajah-Nya.
Apa yang kurasakan dari cinta ini adalah kehadiran-Nya.”

Inilah puncak cinta sufi—ketika cinta kepada sesama menjadi jembatan menuju cinta Tuhan. Dalam cinta itu, tidak ada lagi batas antara “aku” dan “Dia”; yang ada hanya lautan kasih yang tak bertepi.

Rumi: Penari dalam Pusarannya Cinta

Pasca kepergian Shams, Rumi mengekspresikan kerinduannya dengan tarian. Tarian itu bukan untuk dunia, melainkan untuk Tuhan. Dari sinilah tradisi whirling dervishes atau para darwis penari lahir, sebagai simbol perputaran jiwa mengelilingi pusat cahaya Ilahi. Setiap gerakan Rumi adalah zikir, setiap putaran adalah napas cinta.

Baginya, tarian adalah doa, dan cinta adalah wujud paling murni dari iman. Ia berkata: