Kisah Para Sufi: Al-Ghazali, Dari Lorong Keraguan Menuju Samudra Tasawuf

- Pixabay
Akhirnya, ia meninggalkan Baghdad secara diam-diam, meninggalkan jabatan, ketenaran, dan semua prestise duniawi. Ia memilih jalan sunyi: mengembara.
Menemukan Cahaya dalam Kesunyian
Selama bertahun-tahun, Al-Ghazali mengembara dari Syam, Yerusalem, hingga Makkah dan Madinah. Ia menjalani kehidupan zuhud, memperdalam praktik tasawuf, menyucikan hati, dan mencari hakikat ketuhanan melalui jalan ruhani. Di sinilah ia menemukan bahwa kebenaran bukan sekadar konsep dalam buku, tetapi pengalaman yang mengakar dalam hati yang jernih.
Ia menyadari bahwa akal memiliki batas. Dan di batas itulah, cahaya ilahi mengambil alih. Melalui dzikir, riyadhah, dan kontemplasi mendalam, Al-Ghazali mendekap Tuhan dengan penuh cinta, bukan lagi dengan logika semata.
Ihya Ulum al-Din: Ensiklopedia Rohani Sejati
Setelah menemukan kembali ketenangan, Al-Ghazali kembali menulis, tapi dengan jiwa yang telah berubah. Karya monumentalnya, Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), menjadi jembatan agung antara syariat dan hakikat. Buku ini membahas bukan hanya hukum-hukum formal, tetapi juga penyakit hati, pentingnya niat, keikhlasan, akhlak, dan bagaimana mendekatkan diri kepada Allah secara autentik.
Dengan pena yang tajam dan hati yang lapang, Al-Ghazali menyatukan ilmu fikih dan tasawuf dalam harmoni yang indah. Ia tidak lagi sekadar seorang cendekiawan, tetapi juga seorang pembimbing jiwa.