Seruan Jihad! Peran Agama dalam Mobilisasi Perang Diponegoro

Ilustrasi Perang Jawa
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

Jakarta, WISATA - Artikel ini ditulis berdasarkan dokumen berjudul Gedenkschrift van den oorlog op Java, 1825-1830, yang merupakan terjemahan dari bahasa Prancis ke bahasa Belanda oleh Letnan Kolonel H. M. Lange. Buku ini adalah laporan mengenai Perang Jawa (1825-1830) yang ditulis oleh Jhr. F. V. A. Ridder de Stuers, seorang perwira militer Belanda yang berpartisipasi dalam konflik tersebut. Buku ini mengisahkan Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro melawan pemerintahan kolonial Belanda. Ini adalah artikel keenam dari tiga puluh artikel yang direncanakan akan dimuat secara berseri.

Agama sebagai Pemicu Semangat Perlawanan

Perang Jawa (1825-1830) bukan sekadar perang politik dan ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan keagamaan yang kuat. Pangeran Diponegoro tidak hanya berperang sebagai seorang bangsawan yang kehilangan hak-haknya, tetapi juga sebagai seorang pemimpin religius yang melihat perlawanan ini sebagai perang suci atau jihad melawan penjajahan Belanda.

Diponegoro dengan cermat menggunakan sentimen keagamaan untuk membangun solidaritas di antara rakyat Jawa. Dengan menjadikan perang ini sebagai perjuangan membela agama, ia berhasil menarik dukungan dari para ulama, santri, dan rakyat yang selama ini tertindas oleh sistem kolonial.

Bagaimana peran agama dalam Perang Jawa? Dan bagaimana Diponegoro berhasil memobilisasi rakyatnya melalui seruan jihad?

1. Diponegoro: Seorang Pemimpin yang Religius

Sejak kecil, Pangeran Diponegoro dikenal sebagai sosok yang religius. Berbeda dengan kebanyakan bangsawan yang tinggal di dalam istana dan hidup dalam kemewahan, Diponegoro memilih tinggal di desa dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendalami ajaran Islam.

Ia sering berinteraksi dengan ulama-ulama besar di Jawa, termasuk para kyai dan santri dari pesantren-pesantren yang tersebar di pedesaan. Hubungan erat dengan para pemuka agama ini membuatnya semakin dihormati sebagai pemimpin yang tidak hanya memiliki darah bangsawan, tetapi juga memiliki otoritas keagamaan.

Saat ketegangan dengan Belanda semakin meningkat, Diponegoro menyadari bahwa agama bisa menjadi alat pemersatu yang sangat kuat. Dengan mengangkat isu jihad, ia berhasil mengubah perang politik menjadi perang keagamaan, yang membuat lebih banyak rakyat bersedia bergabung dalam perjuangan melawan penjajah.

2. Perang Sabil: Jihad Melawan Penjajah

Dalam berbagai catatan sejarah, Perang Jawa sering disebut sebagai "Perang Sabil" atau perang suci. Konsep jihad yang diusung Diponegoro tidak hanya digunakan untuk membakar semangat rakyat, tetapi juga untuk membenarkan perlawanan terhadap Belanda dalam perspektif agama.

Beberapa alasan mengapa Perang Jawa dianggap sebagai jihad:

a. Belanda Dianggap Sebagai Ancaman terhadap Islam

Belanda tidak hanya menguasai ekonomi dan politik, tetapi juga dianggap merusak moral dan tatanan keagamaan masyarakat Jawa.

Sebagai penjajah, Belanda membawa budaya Barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Banyak kebijakan kolonial yang dianggap melemahkan Islam, seperti:

  • Pembatasan peran ulama dalam masyarakat
  • Perubahan sistem hukum Islam di kesultanan
  • Intervensi dalam sistem pendidikan Islam

Hal ini membuat banyak rakyat percaya bahwa Belanda bukan hanya penjajah, tetapi juga ancaman terhadap keberlangsungan Islam di Jawa.

b. Perlawanan sebagai Bentuk Ibadah

Diponegoro menyampaikan bahwa melawan Belanda adalah kewajiban agama. Dengan menjadikan perang sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah, ia berhasil menarik lebih banyak rakyat untuk ikut serta dalam perjuangan ini.

Para pejuang Diponegoro tidak hanya berperang demi tanah atau kekuasaan, tetapi juga demi membela agama mereka.

c. Atribut Keagamaan dalam Pasukan Diponegoro

Dalam banyak sumber sejarah, disebutkan bahwa pasukan Diponegoro menggunakan simbol-simbol Islam dalam perjuangan mereka.

  • Banyak prajurit yang mengenakan ikat kepala putih sebagai simbol kesucian dalam jihad.
  • Sebelum bertempur, mereka sering melakukan doa bersama dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
  • Mereka menyebut perang ini sebagai "perang sabil", yang berarti perang suci di jalan Allah.

Hal ini memperkuat keyakinan bahwa mereka bukan hanya berperang untuk dunia, tetapi juga untuk kehidupan akhirat.

3. Dukungan dari Ulama dan Santri

Salah satu kekuatan terbesar Diponegoro dalam Perang Jawa adalah dukungan dari para ulama dan santri.

Di masa itu, pesantren menjadi pusat pendidikan dan perlawanan. Banyak kyai yang mengajarkan perlawanan terhadap penjajahan sebagai bagian dari ajaran Islam.

Para santri yang dididik dalam pesantren melihat Diponegoro sebagai pemimpin yang menjalankan perintah agama untuk melawan kezaliman. Mereka pun dengan sukarela bergabung dalam pasukan perlawanan.

Banyak ulama yang juga terlibat secara langsung dalam perang ini, baik sebagai pemimpin spiritual maupun sebagai komandan pasukan. Dukungan ini membuat Perang Jawa semakin kuat karena memiliki dasar ideologi yang jelas.

4. Bagaimana Belanda Merespons Seruan Jihad Ini?

Pemerintah kolonial Belanda sangat menyadari bahwa seruan jihad ini menjadi ancaman besar bagi mereka.

Berbeda dengan pemberontakan lain yang lebih bersifat politik atau ekonomi, Perang Jawa memiliki dimensi spiritual yang membuatnya lebih sulit untuk dihentikan.

Belanda mencoba beberapa strategi untuk menghadapi pengaruh keagamaan dalam Perang Jawa:

  • Menggunakan propaganda untuk melemahkan pengaruh Diponegoro
    • Belanda menyebarkan rumor bahwa Diponegoro hanyalah pemberontak biasa, bukan pemimpin agama yang sah.
  • Menjalin hubungan dengan ulama-ulama yang pro-kolonial
    • Mereka mencoba menarik ulama tertentu untuk mempengaruhi rakyat agar tidak ikut serta dalam perang.
  • Menggunakan pendekatan militer yang lebih brutal
    • Mereka menyadari bahwa perang ini tidak bisa dimenangkan hanya dengan negosiasi, sehingga mereka meningkatkan tekanan militer terhadap pasukan Diponegoro.

Meskipun Belanda berusaha keras untuk meredam pengaruh jihad ini, tetapi mereka tetap kesulitan menghadapi semangat perlawanan yang telah menyebar luas di kalangan rakyat Jawa.

Kesimpulan: Jihad sebagai Kekuatan Perlawanan

Perang Jawa bukan hanya perang politik atau ekonomi, tetapi juga perang spiritual. Pangeran Diponegoro berhasil memanfaatkan sentimen keagamaan untuk membangun semangat perjuangan rakyat Jawa.

Dengan menjadikan perang ini sebagai jihad melawan penjajahan, ia mampu menarik dukungan luas dari rakyat kecil, ulama, santri, hingga bangsawan yang merasa ditindas oleh kolonialisme Belanda.

Strategi ini membuat Perang Jawa menjadi salah satu perlawanan terbesar dalam sejarah Nusantara, yang berlangsung selama lima tahun dan menghabiskan banyak sumber daya Belanda.

Pada artikel berikutnya, kita akan membahas lebih dalam tentang "1825: Ketika Yogyakarta Meledak! Awal Perang yang Menggemparkan", di mana kita akan melihat bagaimana pertempuran pertama Perang Jawa dimulai dan bagaimana pasukan Diponegoro menghadapi tentara Belanda.

Jangan lewatkan artikel selanjutnya dalam Serial Perang Jawa!