Evaluasi Kabinet Prabowo-Gibran Versi CELIOS: Siapa Menteri yang Terburuk dan Layak Di-reshuffle?

Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka
Sumber :
  • viva.co.id

Jakarta, WISATA - Evaluasi terhadap kinerja kabinet Prabowo-Gibran menjadi sorotan setelah 100 hari pemerintahan mereka berjalan. Sebuah laporan yang dirilis oleh CELIOS (Center of Economic and Law Studies) memberikan gambaran mengenai menteri-menteri dengan kinerja terbaik, terburuk, serta mereka yang dianggap tidak terlihat bekerja. Data ini memicu perdebatan publik mengenai efektivitas pemerintahan saat ini, khususnya terkait tanggung jawab para pejabat negara dalam menjalankan tugas mereka.

Menteri dengan Kinerja Terburuk

Dalam kategori ini, Menteri HAM, Natalius Pigai, menempati posisi teratas dengan perolehan skor negatif sebesar -113 poin. Kinerja yang dianggap buruk ini mengundang perhatian luas, terutama dalam konteks isu-isu hukum dan hak asasi manusia yang dinilai minim progres.

Di posisi kedua, Budi Arie Setiadi, Menteri Koperasi, mencatatkan skor -61 poin. Kritik utama yang dialamatkan kepadanya adalah minimnya langkah konkret dalam memberdayakan sektor koperasi yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menduduki posisi ketiga dengan -41 poin. Berbagai persoalan terkait pengelolaan sumber daya alam menjadi sorotan utama dalam evaluasi terhadap dirinya.

Selanjutnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (-36 poin) dan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto (-28 poin) melengkapi daftar lima menteri dengan kinerja terburuk.

Menteri yang Perlu Di-reshuffle

Evaluasi ini juga menyebutkan nama-nama menteri yang perlu mendapatkan perhatian lebih, bahkan diusulkan untuk segera di-reshuffle. Raja Juli Antoni kembali muncul di daftar ini dengan total skor evaluasi 56 poin. Kinerjanya yang dinilai kurang maksimal dalam pengelolaan sektor kehutanan memunculkan desakan untuk perombakan kabinet.

Di posisi berikutnya, nama Budi Arie Setiadi (48 poin) dan Bahlil Lahadalia (46 poin) mencerminkan permasalahan yang berulang di sektor koperasi serta energi dan sumber daya mineral. Kedua menteri ini dianggap gagal memenuhi ekspektasi masyarakat, terlebih di tengah tekanan ekonomi global.

Menyusul di posisi keempat adalah Natalius Pigai (41 poin), yang juga masuk dalam daftar menteri dengan kinerja terburuk. Terakhir, Yandri Susanto (26 poin) dinilai belum berhasil menunjukkan perubahan signifikan dalam pengentasan desa tertinggal.

Menteri yang Tak Terlihat Bekerja

Salah satu kategori yang menarik perhatian adalah daftar menteri atau kepala lembaga yang dinilai "tidak terlihat bekerja". Di urutan pertama, Raja Juli Antoni kembali menjadi sorotan dengan tingkat ketidakpuasan publik sebesar 9,47%. Kritik ini datang dari berbagai elemen masyarakat yang menyoroti lemahnya implementasi kebijakan di sektor kehutanan.

Menteri HAM, Natalius Pigai, menempati posisi kedua dengan skor ketidakpuasan sebesar 8,42%. Hal ini menambah tekanan terhadapnya, mengingat isu-isu hukum dan HAM yang dinilai stagnan.

Selanjutnya, Arifatul Choiri Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memperoleh persentase yang sama, yakni 8,42%. Perannya dalam mendorong kesetaraan gender dan perlindungan anak dianggap masih kurang maksimal.

Nama lain yang muncul adalah Budiman Sudjatmiko, Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan, dan Budi Arie Setiadi, Menteri Koperasi, yang masing-masing mencatatkan skor ketidakpuasan 8,42%.

Respons Publik dan Pemerintah

Evaluasi ini telah memicu diskusi luas di berbagai platform media sosial, seperti Instagram dan YouTube. Banyak yang mempertanyakan efektivitas strategi pemerintah dalam mencapai target-target pembangunan. Beberapa pihak juga menyerukan agar Presiden Prabowo segera mengambil langkah tegas, termasuk melakukan reshuffle kabinet, demi memastikan pemerintahan berjalan lebih efektif.

Di sisi lain, sebagian masyarakat menganggap evaluasi ini terlalu dini, mengingat pemerintahan baru berjalan selama 100 hari. Namun, desakan untuk memperbaiki kinerja kabinet tetap menjadi isu utama yang tidak bisa diabaikan.

Evaluasi 100 hari kabinet Prabowo-Gibran ini memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai siapa saja menteri yang dianggap perlu meningkatkan kinerjanya. Dalam konteks demokrasi, kritik semacam ini penting untuk mendorong akuntabilitas pejabat publik. Langkah-langkah konkret dari pemerintah diharapkan mampu menjawab keresahan masyarakat sekaligus membawa perubahan positif bagi Indonesia.