Mengkritisi Permenkominfo Nomor 3 Tahun 2024 Sertifikasi yang Membebani Industri
- Image Creator/Handoko
Jakarta, WISATA - Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Sertifikasi Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi telah menimbulkan kontroversi di kalangan pelaku industri. Meskipun tujuan peraturan ini adalah untuk menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi, berbagai pihak menilai bahwa peraturan ini justru memberatkan, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah.
Salah satu poin kritis yang banyak disorot adalah peningkatan biaya sertifikasi. Dalam aturan ini, pemerintah menetapkan biaya sertifikasi yang dinilai terlalu tinggi, sehingga memberatkan pelaku usaha. Bagi perusahaan besar, mungkin hal ini tidak terlalu menjadi masalah, namun bagi UMKM yang baru merintis, biaya ini bisa menjadi beban berat yang menghambat pertumbuhan usaha mereka.
Selain itu, proses sertifikasi yang berbelit-belit dan memakan waktu lama juga menjadi salah satu kendala utama. Dengan adanya sistem sertifikasi yang baru ini, pelaku industri harus melalui berbagai tahapan pengujian dan verifikasi yang memakan waktu, sebelum produk mereka bisa masuk ke pasar. Hal ini tentu saja dapat menunda peluncuran produk baru, yang pada akhirnya berdampak negatif pada daya saing di pasar yang semakin ketat.
Kritik lainnya datang dari sisi kepastian hukum. Pelaku industri mengeluhkan bahwa peraturan ini tidak memberikan kepastian hukum yang jelas, terutama terkait dengan standar teknis yang harus dipenuhi. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda di lapangan, yang pada akhirnya bisa merugikan pelaku usaha. Apalagi, dalam dunia teknologi yang berkembang sangat cepat, standar teknis yang ditetapkan dalam peraturan ini mungkin sudah tidak relevan lagi dalam waktu beberapa tahun ke depan.
Lebih lanjut, peraturan ini dinilai tidak responsif terhadap kebutuhan industri yang dinamis. Dalam dunia teknologi, inovasi adalah kunci utama keberhasilan. Dengan adanya regulasi yang terlalu kaku dan tidak fleksibel, potensi inovasi di Indonesia bisa terhambat. Pelaku industri mengharapkan adanya regulasi yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan teknologi, sehingga mereka bisa lebih leluasa dalam berinovasi dan bersaing di pasar global.
Tidak hanya itu, peraturan ini juga dinilai diskriminatif terhadap produk-produk impor. Sertifikasi yang ketat dan berbelit-belit bisa menjadi hambatan bagi produk-produk impor untuk masuk ke pasar Indonesia. Di satu sisi, hal ini mungkin dianggap positif karena bisa melindungi produk lokal. Namun di sisi lain, konsumen bisa dirugikan karena pilihan produk menjadi terbatas, dan harga produk di pasar bisa menjadi lebih mahal.
Kritik juga datang dari sisi transparansi. Pelaku industri menilai bahwa proses sertifikasi ini kurang transparan, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap regulator. Mereka mengharapkan adanya peningkatan transparansi dalam proses sertifikasi, sehingga semua pihak bisa mendapatkan informasi yang jelas dan akurat terkait dengan prosedur dan biaya yang harus mereka tanggung.