Memaknai Kutipan Kahlil Gibran: Cinta yang Meleleh Seperti Sungai
- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA — Kahlil Gibran, penyair dan filsuf asal Lebanon yang dikenal luas melalui karyanya The Prophet, telah meninggalkan warisan sastra yang tak lekang oleh waktu. Di antara banyak kutipannya yang menggugah, salah satu yang paling sering dikutip dan dibahas adalah pernyataannya tentang cinta:
“Cinta tidak memiliki keinginan selain mewujudkan dirinya sendiri. Namun jika engkau mencintai dan harus punya keinginan, biarlah ini keinginanmu: untuk meleleh dan menjadi seperti sungai yang mengalir menyanyikan lagunya di malam hari.”
Kutipan ini tidak hanya puitis dan indah secara linguistik, tetapi juga menyimpan filosofi cinta yang mendalam. Dalam pandangan Gibran, cinta sejati bukanlah sesuatu yang menuntut, mengikat, atau memaksakan kehendak. Cinta, menurutnya, adalah entitas yang bebas, yang hadir hanya untuk mewujudkan dirinya sendiri tanpa harus memegang kendali atas siapa pun.
Frasa “meleleh dan menjadi seperti sungai” menggambarkan bentuk cinta yang pasrah namun kuat. Seperti sungai yang mengalir mengikuti kontur bumi, cinta yang tulus pun mengikuti alur kehidupan dengan ketenangan dan kelembutan. Ia tidak mencoba mengubah arah alam, tetapi justru menyesuaikan diri dan tetap memberi makna di setiap lekuk perjalanannya.
Kahlil Gibran dengan sangat halus menyisipkan pelajaran bahwa mencintai bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang memberi dan mengalir tanpa batas. Dalam kalimat “menyanyikan lagunya di malam hari”, Gibran melukiskan suasana cinta yang tak hanya hadir di siang terang, tetapi juga di keheningan malam, dalam kesendirian, dalam kesunyian, dan dalam ketidaktampakan.
Cinta seperti ini adalah cinta yang telah melampaui ego. Ia tidak berharap untuk dibalas, tidak memaksa untuk diterima, dan tidak menuntut kesempurnaan. Cinta seperti ini hanya ingin menjadi. Ia hadir seperti udara yang tak terlihat tapi terasa, seperti nyanyian alam yang tak bersuara tapi menggema di hati.
Dalam dunia yang sering kali menjadikan cinta sebagai alat transaksi emosional atau bahkan kekuasaan, ajaran Gibran terasa sangat relevan. Ia mengingatkan bahwa cinta tidak seharusnya menjadi beban atau alat untuk memuaskan ambisi pribadi. Sebaliknya, cinta sejati adalah energi yang mengalir bebas, yang justru memperkuat hubungan manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam.
Banyak pembaca yang merasa tersentuh oleh kutipan ini karena ia membebaskan mereka dari ekspektasi cinta yang rumit. Tak sedikit pula yang mengaku menemukan ketenangan setelah memahami bahwa mencintai tak selalu harus diikuti dengan keharusan memiliki. Bahwa seseorang bisa mencintai tanpa mengikat, bisa memberi tanpa berharap kembali.