Dari Surat Kartini ke Sekolah Kartini: Awal Mula Gerakan Pendidikan Perempuan di Hindia Belanda

R.A. Kartini
Sumber :
  • Bicara Tokoh

Jakarta, WISATA - Artikel ini merupakan bagian kedua dari rangkaian tujuh artikel yang membahas perjalanan Kartinifonds, sebuah organisasi yang didirikan di Den Haag, Belanda, pada 27 Juni 1913 untuk mendukung pendidikan perempuan pribumi di Hindia Belanda. Artikel ini disusun berdasarkan Jubileum-verslag, laporan peringatan 25 tahun organisasi ini, yang mencakup aktivitasnya dalam periode 1913 hingga 1938.

Dampak dan Masa Depan Pendidikan Perempuan di Hindia Belanda: Jejak Kartinifonds dan Van Deventer-Stichting

Artikel pertama telah mengulas Kartinifonds sebagai wujud nyata perjuangan R.A. Kartini dalam membuka akses pendidikan bagi perempuan pribumi. Kini, kita akan menelusuri bagaimana surat-surat Kartini yang menggugah dunia akhirnya melahirkan sebuah gerakan pendidikan yang mengubah masa depan perempuan pribumi di Hindia Belanda.

Surat-Surat Kartini: Sumber Inspirasi Perubahan

Antara Pendidikan dan Emansipasi: Bagaimana Sekolah Kartini Membentuk Generasi Baru

Sejak kecil, Raden Adjeng Kartini memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap dunia luar. Ia tumbuh dalam lingkungan aristokrat Jawa yang masih membatasi peran perempuan, tetapi pemikirannya berkembang jauh lebih maju daripada zamannya. Kartini mendapatkan wawasan baru dari buku-buku, majalah, dan terutama surat-menyuratnya dengan teman-teman di Eropa.

Dalam surat-suratnya, Kartini menyuarakan keprihatinan terhadap minimnya akses pendidikan bagi perempuan pribumi. Ia menyadari bahwa perempuan Jawa, yang mayoritas hanya diperbolehkan mengurus rumah tangga, tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh ilmu dan keterampilan yang dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Sekolah Van Deventer: Mewujudkan Pendidikan Lanjutan bagi Perempuan Pribumi

Salah satu kutipan terkenal dari surat Kartini adalah:

"Kami gadis-gadis pribumi hanya diperbolehkan menuntut ilmu sampai usia 12 tahun, setelah itu pintu sekolah tertutup bagi kami. Kami harus tinggal di dalam rumah, menunggu saatnya menikah. Kami ingin berjuang melawan kebodohan, tetapi apa daya, tak ada jalan bagi kami."

Halaman Selanjutnya
img_title