Manipulasi Media Sosial dan Kaum Sophis Modern: Tantangan Demokrasi Populis di Indonesia

Tantangan Demokrasi Populis di Indonesia
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Jakarta, WISATA - Di era digital saat ini, demokrasi menghadapi tantangan baru yang tidak dapat diabaikan, terutama dengan pengaruh besar dari media sosial dan pencitraan publik. Fenomena ini memiliki kemiripan yang menarik dengan peran kaum "Sophis" di masa Yunani Kuno, seperti yang pernah dikritik oleh Socrates. Pada waktu itu, kaum Sophis dikenal sebagai golongan yang ahli dalam retorika dan persuasi, namun seringkali mengabaikan kebenaran dan moralitas demi kemenangan dalam perdebatan. Di zaman modern ini, taktik manipulatif serupa digunakan oleh banyak populis yang memanfaatkan media sosial untuk mengendalikan narasi publik, menjadikan citra dan popularitas sebagai prioritas, bukan kompetensi dan integritas.

Krisis Body Image dan Gangguan Makan di Kalangan Milenial dan Gen Z Imbas Media Sosial

Keterkaitan dengan Kondisi Demokrasi Saat Ini

Seperti kaum Sophis yang mempengaruhi opini publik pada masa Yunani Kuno, media sosial saat ini telah menjadi panggung utama bagi para politisi untuk membangun citra mereka. Tidak jarang, strategi yang digunakan adalah manipulasi emosional, penyebaran disinformasi, serta penggunaan retorika populis. Figur-figur politik yang ingin memperoleh dukungan seringkali lebih mengutamakan citra ketimbang substansi. Hal ini menyebabkan lahirnya sistem yang disebut sebagai demokrasi populis-kapitalis, di mana pemimpin dipilih berdasarkan popularitas dan daya tarik citra, bukan pada kompetensi, kebijaksanaan, atau visi jangka panjang yang jelas.

Media Sosial Berbalik Arah? Kasus Fufufafa, Jet Pribadi, Mengguncang Politik Populisme di Indonesia

Media sosial berperan sebagai alat yang memperkuat praktik ini. Figur publik memanfaatkan berbagai platform untuk menyebarkan narasi yang memikat, tetapi sering kali jauh dari realitas dan kebenaran. Sayangnya, intelektual yang seharusnya menjadi benteng moral dan sumber pencerahan, terkadang justru terlibat dalam memperkuat narasi populis demi keuntungan pribadi, ketenaran, atau kedekatan dengan kekuasaan.

Bagaimana Menghindari Fenomena Ini di Masa Depan?

Generas FOMO: Takut Kehilangan Momen pada Milenial dan Gen Z, Ketergantungan pada Media Sosial

Untuk mencegah penyalahgunaan demokrasi dan manipulasi media sosial oleh para populis, langkah-langkah konkret harus segera diambil. Berikut adalah beberapa upaya yang bisa dilakukan:

1. Pendidikan Filsafat dan Literasi Kritis

Masyarakat harus diberi kemampuan untuk berpikir kritis dan mengembangkan literasi media yang baik. Pendidikan filsafat dapat menjadi alat penting untuk mendidik masyarakat dalam memahami logika, moralitas, dan keadilan. Dengan pendidikan ini, masyarakat akan lebih mampu menilai informasi secara objektif, menghindari manipulasi, dan melihat kebenaran di balik narasi populis. Pemahaman tentang konsep "Filsuf Raja" seperti yang diajarkan Plato dapat menjadi acuan penting bagi masyarakat dalam memilih pemimpin yang mengedepankan kebenaran dan kebijaksanaan.

2. Memperkuat Media Independen dan Jurnalisme Berkualitas

Keberadaan media yang bebas dari pengaruh politik dan ekonomi sangat penting. Masyarakat harus disuguhkan berita yang seimbang, objektif, dan berbasis fakta. Jurnalisme berkualitas yang mengedepankan investigasi dan memberikan informasi yang akurat dapat menjadi penyeimbang narasi populis yang sering kali menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi hanya sekadar retorika emosional. Memperkuat media independen merupakan kunci untuk melawan disinformasi dan manipulasi yang kerap terjadi di media sosial.

3. Regulasi Ketat Platform Media Sosial

Perusahaan teknologi dan pemerintah perlu membuat regulasi yang lebih ketat untuk mengontrol penyebaran informasi palsu dan manipulasi politik melalui media sosial. Ini termasuk mengatur transparansi iklan politik, algoritma yang digunakan untuk menargetkan audiens, serta memastikan bahwa data pengguna tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik. Tanpa regulasi yang memadai, media sosial akan terus menjadi alat yang mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin meraih kekuasaan dengan cara yang tidak etis.

4. Partisipasi Aktif Intelektual dan Akademisi

Para intelektual dan akademisi harus memainkan peran yang lebih signifikan dalam memberikan pandangan obyektif dan kritis terhadap isu-isu publik. Dalam hal ini, mereka perlu mencontoh semangat Socrates, yang selalu mencari kebenaran melalui dialog dan diskusi kritis. Alih-alih menjadi alat kekuatan populis, para intelektual harus memanfaatkan keahlian mereka untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat dan membantu menilai kebijakan atau tindakan politik dengan objektivitas yang tinggi.

5. Menumbuhkan Kepemimpinan yang Berbasis Nilai (Value-Based Leadership)

Kepemimpinan yang baik tidak hanya ditentukan oleh kemampuan politik dan strategi, tetapi juga harus berlandaskan pada nilai-nilai moral dan etika yang kuat. Pemimpin yang mendasarkan kebijakannya pada keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kepentingan kelompok atau dirinya sendiri, adalah tipe pemimpin yang dibutuhkan. Pemimpin seperti ini bisa kita identifikasi sebagai "Filsuf Raja"—pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana, seperti yang dijelaskan oleh Plato.

6. Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Politik

Masyarakat harus didorong untuk tidak hanya menjadi penonton pasif dalam proses politik. Mereka harus berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan, baik melalui diskusi publik, musyawarah, maupun melalui kelompok-kelompok masyarakat sipil. Dengan keterlibatan yang lebih besar, proses politik akan lebih transparan dan akuntabel, sehingga peluang bagi manipulasi oleh figur populis dapat diminimalisir.

7. Pemberdayaan Pemimpin Lokal

Alih-alih hanya berfokus pada figur nasional yang seringkali terlalu jauh dari realitas masyarakat sehari-hari, kita perlu memberdayakan pemimpin lokal yang memahami kebutuhan dan masalah masyarakat setempat. Pemimpin-pemimpin lokal yang terbukti berhasil dalam membawa perubahan positif dapat menjadi model kepemimpinan yang baik, yang lebih berbasis pada hasil nyata ketimbang citra yang dibangun di media sosial.

Menuju Pemimpin Sejati: "Filsuf Raja" sebagai Solusi

Menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan konsep "Filsuf Raja" Plato mungkin tampak sebagai tugas yang sulit. Namun, dengan pendidikan moral yang kuat, literasi kritis yang luas, dan partisipasi aktif masyarakat, kita bisa lebih baik dalam memilih pemimpin yang berkomitmen pada kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Pemimpin sejati bukanlah mereka yang hanya pandai dalam retorika dan pencitraan, tetapi mereka yang memiliki kebijaksanaan, integritas, dan visi jangka panjang yang didedikasikan untuk kepentingan bersama.

Fenomena penggunaan media sosial dalam politik populis di Indonesia menyerupai taktik kaum Sophis di masa Socrates. Untuk menyelamatkan demokrasi dari manipulasi serupa, kita perlu memperkuat pendidikan filsafat, literasi kritis, media independen, serta mendorong kepemimpinan berbasis nilai. Dengan langkah-langkah tersebut, masyarakat dapat memilih pemimpin yang bukan hanya populer, tetapi juga bijak, adil, dan berkomitmen untuk kesejahteraan bersama—seorang "Filsuf Raja" di dunia modern.