Plato vs. Demokrasi: Mengapa Filsuf Yunani Ini Tidak Percaya pada Suara Rakyat?

Plato (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator Bing/Handoko

Malang, WISATA - Plato, salah satu filsuf terbesar sepanjang masa, dikenal luas karena pemikirannya yang revolusioner tentang politik dan masyarakat. Namun, ada satu aspek dalam filsafatnya yang sering kali menimbulkan kontroversi, yaitu ketidakpercayaannya terhadap demokrasi. Sebagai seorang filsuf yang hidup di era kejayaan dan kejatuhan demokrasi Athena, Plato mengembangkan pandangan kritis terhadap sistem politik yang saat ini dianggap sebagai salah satu bentuk pemerintahan terbaik di dunia. Mengapa Plato tidak percaya pada suara rakyat? Dan apa yang membuatnya berseberangan dengan prinsip-prinsip demokrasi?

Dari Socrates ke Plato: Mengapa Ajaran Sang Guru Menjadi Fondasi Filsafat Barat?

Konteks Sejarah: Demokrasi Athena dan Plato

Untuk memahami pandangan Plato, kita perlu melihat konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Pada masa Plato hidup, Athena adalah pusat demokrasi di Yunani kuno. Demokrasi Athena memungkinkan semua warga negara laki-laki untuk berpartisipasi langsung dalam proses pengambilan keputusan politik. Sistem ini memungkinkan rakyat untuk memilih pemimpin mereka, mengusulkan undang-undang, dan berpartisipasi dalam pengadilan.

Mengapa Pemikiran Socrates Begitu Mendalam Bagi Plato, Xenophon, dan Alcibiades?

Namun, bagi Plato, sistem demokrasi Athena memiliki kelemahan mendasar. Salah satu peristiwa yang sangat mempengaruhi pandangannya adalah eksekusi Socrates, gurunya sekaligus tokoh sentral dalam hidupnya. Socrates dihukum mati oleh mayoritas rakyat Athena atas tuduhan merusak moral pemuda dan tidak menghormati dewa-dewa kota. Keputusan ini, menurut Plato, menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi ketika keputusan-keputusan penting diserahkan pada rakyat yang dianggapnya kurang berpengetahuan dan mudah dipengaruhi emosi.

Kritik Plato terhadap Demokrasi

Bagaimana Sang Filsuf Mempengaruhi Perjalanan Intelektual Plato dan Xenophon

Plato mengkritik demokrasi karena ia melihatnya sebagai sistem yang membiarkan kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk memimpin. Menurut Plato, dalam demokrasi, keputusan sering kali dibuat berdasarkan popularitas dan retorika, bukan berdasarkan kebijaksanaan atau keahlian. Ia berargumen bahwa demokrasi mempromosikan kebebasan yang berlebihan dan cenderung menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil.

Dalam Republik, salah satu karyanya yang paling terkenal, Plato menggambarkan demokrasi sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang lebih rendah dibandingkan dengan sistem aristokrasi atau pemerintahan oleh kaum bijaksana. Ia menggunakan analogi kapal untuk menggambarkan ketidakpercayaannya terhadap demokrasi: bayangkan sebuah kapal yang dikendalikan oleh awak yang tidak memiliki keahlian navigasi, dibandingkan dengan kapal yang dipimpin oleh seorang kapten yang terlatih. Plato berpendapat bahwa menyerahkan keputusan negara kepada rakyat sama dengan memberikan kendali kapal kepada mereka yang tidak tahu bagaimana cara mengemudikannya.

Plato dan Konsep Pemerintahan oleh Filsuf

Sebagai alternatif dari demokrasi, Plato mengusulkan pemerintahan oleh para filsuf, yang dikenal dengan istilah "filsuf-raja". Menurut Plato, filsuf adalah satu-satunya individu yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran dan keadilan, serta memiliki kemampuan untuk memimpin dengan bijaksana. Mereka dipandang sebagai pemimpin ideal karena tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau ambisi politik.

Konsep filsuf-raja ini didasarkan pada keyakinan Plato bahwa pemimpin haruslah orang yang paling memahami apa yang baik bagi masyarakat, bukan sekadar memuaskan keinginan mayoritas. Dalam Republik, ia menggambarkan filsuf sebagai seseorang yang memiliki visi tentang "dunia ide" atau realitas sejati yang hanya bisa dipahami melalui penalaran mendalam, berbeda dengan rakyat biasa yang hanya melihat dunia melalui pengalaman sehari-hari.

Mengapa Plato Meragukan Suara Rakyat?

Pandangan Plato terhadap demokrasi dan suara rakyat berakar dari keyakinannya bahwa manusia, pada umumnya, tidak selalu tahu apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Menurutnya, manusia sering kali didorong oleh emosi, nafsu, dan prasangka, yang dapat mengarah pada keputusan yang buruk. Demokrasi, dalam pandangan Plato, memberi terlalu banyak kebebasan kepada individu yang mungkin tidak memiliki pemahaman mendalam tentang isu-isu kompleks yang dihadapi negara.

Plato juga melihat bahwa dalam demokrasi, pemimpin yang terpilih sering kali adalah mereka yang pandai merayu dan memainkan emosi rakyat, bukan yang benar-benar memahami atau mampu menangani tantangan yang dihadapi oleh negara. Inilah mengapa ia lebih menyukai pemerintahan yang dipimpin oleh individu yang terlatih dalam filsafat, yang dianggap lebih mampu membuat keputusan yang baik dan adil.

Relevansi Pandangan Plato di Era Modern

Meskipun banyak yang menganggap pandangan Plato tentang demokrasi sebagai bentuk elitisme, gagasannya tetap relevan dan sering kali menjadi bahan diskusi dalam konteks politik modern. Kritik Plato terhadap demokrasi mencerminkan kekhawatiran yang masih ada hingga saat ini: apakah pemimpin yang dipilih berdasarkan popularitas benar-benar mampu memimpin dengan bijaksana? Apakah suara mayoritas selalu menghasilkan keputusan yang terbaik?

Di era di mana populisme dan retorika sering kali mendominasi panggung politik, pandangan Plato menjadi pengingat bahwa kebijaksanaan dan pengetahuan adalah komponen penting dalam kepemimpinan. Meskipun konsep filsuf-raja sulit diterapkan, tuntutan akan pemimpin yang lebih berpengetahuan dan etis menjadi semakin relevan.

Plato mungkin tidak percaya pada demokrasi karena ia melihat kelemahan dalam sistem yang memberikan kekuasaan kepada mayoritas tanpa mempertimbangkan kualitas pemimpin. Kritiknya terhadap suara rakyat bukan berarti ia meremehkan rakyat, melainkan menunjukkan kekhawatirannya bahwa keputusan yang dibuat tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan dapat merugikan masyarakat. Bagi Plato, filsuf adalah pemimpin yang ideal karena mereka mengutamakan kebenaran dan keadilan di atas segalanya. Meskipun sulit diterapkan secara harfiah, pemikiran Plato memberikan pelajaran penting tentang pentingnya integritas dan pengetahuan dalam kepemimpinan, yang tetap relevan di dunia politik modern.