Fakta Mengejutkan di Balik Penulisan Max Havelaar: Kisah Nyata yang Menjadi Sastra Abadi

Eduard Douwes Dekker
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Menariknya, novel ini bukan hanya sekadar kritik sosial, tetapi juga eksperimen sastra yang unik. Max Havelaar tidak hanya menampilkan narasi utama tentang seorang pejabat idealis, tetapi juga menyelipkan cerita rakyat dan kisah fiktif yang menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia.

Dari Pemberontak Menjadi Pahlawan Nasional: Bagaimana Sejarah Menilai Diponegoro

Novel ini akhirnya diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1860, tetapi awalnya kurang mendapat perhatian. Namun, seiring waktu, Max Havelaar menjadi bacaan wajib di Belanda dan negara-negara lain yang tertarik pada isu kolonialisme.

3. Nama Pena “Multatuli” yang Penuh Makna

Warisan Perang Jawa: Apa yang Kita Pelajari dari Perlawanan Diponegoro?

Eduard Douwes Dekker memilih nama pena “Multatuli,” yang dalam bahasa Latin berarti “Aku telah banyak menderita.” Nama ini mencerminkan perasaan kecewa dan marahnya terhadap sistem kolonial yang ia saksikan di Hindia Belanda.

Pilihan nama ini juga menjadi bentuk sindiran bagi pemerintah Belanda, yang selama ini menutup mata terhadap penderitaan rakyat pribumi.

Warisan Kolonial: Sejarah Pasal 57 dan Sistem Kerja Paksa di Hindia Belanda

4. Struktur Novel yang Tidak Biasa

Max Havelaar bukan novel biasa. Selain menceritakan kisah seorang pejabat idealis yang berusaha melawan korupsi, novel ini juga menyisipkan berbagai unsur lain, seperti:

Halaman Selanjutnya
img_title