Bagaimana Hukum Mengeluh Kehausan saat Puasa Ramadan?
- IG/intisariplusmadu
Malang, WISATA – Puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh seseorang yang memenuhi syarat wajib yaitu beragama Islam, berakal, dalam kondisi suci (tidak sedang haid atau nifas), dan mampu berpuasa. Namun bagaimana hukumnya bila orang mengeluh kehausan saat berpuasa?
Bila kelelahan tersebut menyebabkan orang membutuhkan asupan yang bila tidak dilakukan akan membahayakan fisik atau fungsi organ tubuh, maka boleh tidak berpuasa, bahkan wajib demi menyelamatkan fisik.
Begitu juga boleh tidak berpuasa bagi orang pekerja berat yang yang sekira bila diteruskan akan khawatir membahayakan fisik atau fungsi organ tubuh. Kondisi ini dikenal dengan mubihut tayammum (hal-hal yang memperbolehkan tayamum). Syekh Nawawi Al-Bantani mengatakan:
“Sama hukumnya dengan orang sakit adalah orang yang sangat lapar dan haus, tukang panen, petani, dan sesamanya. Wajib bagi mereka berniat puasa di malam hari Ramadhan. Kemudian (ketika di siang hari) mereka merasakan sangat payah yang memperbolehkan tayamum, maka mereka boleh berbuka. Bila tidak merasakan kepayahan selevel itu, maka tidak boleh berbuka.” (Nawawi bin Umar Al-Bantani, Qutul Habibil Gharib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998], halaman 183).
Disebutkan bahwa ada 6 kondisi dimana orang diperbolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa. Ia boleh tidak berpuasa dan tidak berkewajiban qadha. Cukup diganti dengan membayar fidyah perhari satu mud, kurang lebih 7 ons bahan makanan pokok.
2. Orang yang sakit sekira puasa bisa merusak fisik, menambah parah, atau memperlama proses penyembuhan.
3. Orang hamil atau menyusui yang bila berpuasa khawatir kondisi diri atau bayinya.
4. Orang yang sedang haid atau nifas.
5. Orang bepergian dengan jarak masafatul qashri (sekitar 94 km) dengan tujuan baik dan telah keluar dari batas desanya sebelum terbit fajar, dan
6. Orang yang sangat lapar atau haus.
Perlu diketahui bahwa hal yang membatalkan puasa atau dikenal dengan mufathirat dibagi menjadi dua, yaitu:
Mufathirat hissiyah, yaitu hal-hal yang menyebabkan puasa tidak sah alias batal dan harus diqadha. Semisal masuknya sesuatu ke lubang tubuh yang terbuka, sengaja muntah, dan hal lain yang biasa dikenal dengan perkara yang membatalkan puasa.
Mufathirat maknawiyah yaitu hal-hal yang bila dilakukan tidak sampai mempengaruhi keabsahan puasa, namun menghilangkan pahala puasa. Dengan demikian puasanya sah dan tidak perlu diulang kembali. Menurut Syekh Salim As Syathiri sebagaimana dinukil oleh Syekh Ibrahim bin Abdul Bari Al-Aiydrus (Ibrahim bin Abdul Bari Al-Aydrus, Bughyatut Thalibil Manhum fi Basthi Ba'dhil Ahkam Al-Fiqhiyah wa Dzauqiyah lis Shaum, [2019], halaman 107-108), Mufathirat maknawiyah, adalah sesuatu yang membatalkan pahala dan hikmah puasa, namun dalam lahiriah syariat puasanya sah dan pelakunya tidak berkewajiban qadha. Ia juga tidak mendapat dosa membatalkan puasa. Ia hanya mendapat dosa mufathirat maknawiyah yang dilakukannya yaitu ghibah, ucapan adu domba, berbohong, melihat orang lain yang tidak halal dengan syahwat, dan sumpah bohong. Kelima hal ini adalah mufathirat maknawiyah.
Sumber: islam.nu.or.id