Epictetus: Ajaran Zaman Kuno yang Menyelamatkan Hidup di Zaman Modern

- Cuplikan layar
Jakarta, WISATA - Di tengah hiruk-pikuk zaman modern yang serba cepat, penuh tekanan, dan tidak jarang membingungkan, banyak orang mencari jawaban atas pertanyaan paling mendasar dalam hidup: bagaimana cara hidup yang baik, tenang, dan bermakna? Siapa sangka, jawabannya justru datang dari seorang mantan budak yang hidup hampir dua ribu tahun lalu — Epictetus.
Meski hidup di abad pertama Masehi, ajaran Epictetus kini kembali bergema. Filsuf Stoik ini membawakan pesan-pesan sederhana namun dalam, yang terasa semakin relevan di era digital, media sosial, dan tekanan eksistensial masa kini. Ia mengajarkan bahwa ketenangan dan kebebasan sejati berasal dari dalam diri, bukan dari dunia luar yang tak menentu.
Kisah Sang Filsuf Budak
Epictetus lahir sebagai budak di Kekaisaran Romawi. Ia hidup dalam penindasan, miskin, bahkan memiliki cacat fisik. Namun, keterbatasan ini justru membentuknya menjadi pribadi yang luar biasa tangguh. Setelah dibebaskan, ia mendirikan sekolah filsafat dan mengajar Stoikisme — filsafat hidup yang menekankan pengendalian diri, logika, dan ketahanan mental.
Di era di mana kita dengan mudahnya larut dalam tekanan sosial dan informasi yang berlimpah, prinsip-prinsip Stoik dari Epictetus menjadi oase yang menenangkan.
Ajaran Dasar Epictetus: Fokus pada Apa yang Bisa Dikendalikan
Epictetus terkenal dengan ajarannya untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang tidak.
“Kebebasan sejati didapat dari mengabaikan hal-hal yang berada di luar kendali kita.”
Ini mungkin terdengar sederhana, tapi justru di sinilah kekuatannya. Kita sering kali cemas, marah, atau kecewa karena hal-hal di luar kendali: opini orang, situasi politik, atau bahkan masa lalu. Epictetus mengajak kita untuk memfokuskan energi hanya pada satu hal: diri sendiri.
Hidup Bijak Tanpa Drama
Dalam kehidupan modern, kita sering tergoda untuk membandingkan diri dengan orang lain — melalui media sosial, karier, atau pencapaian. Namun, Epictetus justru mengajak kita untuk tidak hidup demi pengakuan orang lain.
“Jangan hanya menjelaskan filosofi hidupmu. Jalani dan tunjukkan lewat tindakan.”
Filsafatnya bukan tentang berteori panjang lebar, tetapi tentang hidup nyata. Ia mengajak kita untuk rendah hati, fokus, dan tidak mudah terpengaruh oleh pujian atau cacian.
Ketahanan Mental dalam Situasi Sulit
Epictetus sangat menekankan pentingnya melatih diri menghadapi penderitaan. Menurutnya, kesulitan adalah kesempatan terbaik untuk mengembangkan karakter.
“Kesulitan menunjukkan siapa kita sebenarnya.”
Alih-alih lari dari masalah, Epictetus justru mendorong kita untuk menghadapinya. Melalui kesabaran, logika, dan penerimaan terhadap kenyataan, kita belajar menjadi pribadi yang kuat tanpa harus kehilangan ketenangan.
Ajaran yang Relevan untuk Era Digital
Di era digital, kita dikepung notifikasi, opini, berita negatif, dan ekspektasi tak berujung. Ketenangan batin seolah menjadi barang langka. Di sinilah ajaran Epictetus terasa menyentuh:
- Saat dunia maya membuat kita cemas, ia mengingatkan bahwa pikiran kita-lah yang memberi makna.
- Saat kita diserang komentar negatif, ia berkata: "Jika itu benar, perbaikilah dirimu. Jika itu bohong, tertawalah."
- Saat kita kehilangan arah, ia mengajak kita untuk kembali ke inti diri — bukan dunia luar.
Praktik Stoikisme Sehari-hari: Mudah, Tapi Butuh Ketekunan
Ajaran Epictetus bukan hanya untuk para filsuf. Ia sangat praktis dan bisa diterapkan siapa pun, kapan pun:
1. Refleksi harian: Sebelum tidur, renungkan tindakanmu hari ini. Apakah kamu bertindak sesuai nilai?
2. Latihan mengendalikan reaksi: Jangan langsung bereaksi. Tahan sejenak. Uji pikiranmu. Rasionalkan emosimu.
3. Syukuri hal kecil: Epictetus percaya, bahagia bukan karena memiliki banyak, tapi karena menginginkan sedikit.
4. Lepaskan keterikatan: Cintai tanpa melekat. Nikmati tanpa tergantung. Jalani tanpa takut kehilangan.
5. Hargai pendidikan: Baginya, hanya orang yang terdidik yang benar-benar bebas.
Mengapa Ajaran Ini Menyelamatkan Hidup?
Karena ajaran Epictetus tidak mengandalkan keberuntungan, kekayaan, atau pengakuan orang. Ia memberikan alat yang nyata untuk hidup damai, bahkan ketika hidup tidak berjalan sesuai rencana.
Di tengah gelombang tekanan mental, kebingungan identitas, dan ketakutan akan masa depan, ajaran ini menjadi jangkar. Ia tidak menjanjikan hidup yang mudah, tetapi menawarkan ketenangan batin yang tahan uji.
“Kita tidak bisa mengontrol angin, tapi kita bisa mengatur layar kita.”
Kesimpulan: Kuno tapi Abadi
Epictetus mungkin hidup dua ribu tahun lalu, tapi ajarannya tidak pernah ketinggalan zaman. Justru di tengah kemajuan teknologi dan kompleksitas hidup modern, kita semakin membutuhkannya. Ia mengingatkan kita untuk kembali ke hal paling mendasar — mengelola pikiran, menerima kenyataan, dan hidup dengan bijak.
Dalam dunia yang selalu berubah, ajaran Epictetus adalah penuntun abadi untuk hidup yang damai dan tangguh.