Filsafat dan Kematian: Mengapa Para Filsuf Mempersiapkan Diri untuk Mati

Socrates
Socrates
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Malang, WISATA - Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, sebagian besar orang lebih sibuk mengejar kenyamanan, kekayaan, dan hiburan. Pembicaraan tentang kematian dianggap tabu, menakutkan, atau bahkan dihindari sebisa mungkin. Namun, bagi Socrates—filsuf besar dari Yunani Kuno—kematian justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dari filsafat.

Socrates mengatakan bahwa mereka yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk filsafat, pada dasarnya sedang mempersiapkan diri untuk mati. Pernyataan ini mungkin mengejutkan atau bahkan terdengar menyeramkan bagi sebagian orang. Tapi di balik kalimat tersebut, tersembunyi makna yang dalam dan membebaskan.

Filsafat sebagai Persiapan Menuju Kematian

Dalam karya Plato berjudul Phaedo, Socrates menjelaskan bahwa para filsuf sejati tidak takut akan kematian. Mengapa? Karena mereka telah melatih jiwa mereka untuk melepaskan diri dari dunia materi dan keinginan jasmani. Dalam proses itu, mereka membangun pemahaman yang utuh tentang nilai-nilai yang abadi—kebaikan, kebenaran, dan kebijaksanaan.

Kematian, menurut Socrates, hanyalah pemisahan antara tubuh dan jiwa. Bagi filsuf, tubuh sering dianggap sebagai penghalang dalam pencarian pengetahuan sejati. Maka ketika tubuh mati, jiwa menjadi bebas, dan bisa mencapai bentuk pemahaman yang tertinggi.

Dengan kata lain, seorang filsuf memandang kematian bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai puncak dari sebuah perjalanan spiritual.

Mengapa Orang Biasa Menolak Gagasan Ini?

Socrates menyebut bahwa "orang biasa"—yakni mereka yang belum mendalami filsafat—tidak menyadari atau memahami konsep ini. Mereka terikat pada kenikmatan duniawi: kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan reputasi. Ketika semua itu perlahan menghilang seiring usia dan waktu, muncullah rasa takut akan kehilangan dan kematian.

Filsafat mengajak manusia untuk melepaskan keterikatan tersebut dan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang materi, tetapi tentang bagaimana kita memaknai keberadaan. Ketika seseorang memahami ini, kematian tidak lagi menakutkan, melainkan menjadi bagian dari perjalanan menuju kebenaran dan ketenangan hakiki.

Kematian Bukanlah Musuh

Socrates bukan satu-satunya tokoh yang memandang kematian secara positif. Banyak filsuf dan pemikir setelahnya, seperti Seneca, Epictetus, hingga Marcus Aurelius, juga menyampaikan hal serupa. Dalam Stoisisme, misalnya, manusia diajak untuk merenungkan kematian (memento mori) setiap hari, bukan untuk merasa ngeri, tetapi untuk menghidupi setiap momen dengan kesadaran penuh.

Kematian bukan musuh, tetapi pengingat bahwa hidup memiliki batas. Justru karena hidup terbatas, maka setiap keputusan, ucapan, dan tindakan kita menjadi sangat berarti.

Pentingnya Membiasakan Diri Berpikir Filsafati

Di zaman modern, mungkin terasa sulit untuk hidup seperti para filsuf zaman dulu. Kita dikelilingi oleh tuntutan sosial, teknologi yang serba cepat, dan tekanan hidup yang besar. Namun, esensi dari ajaran Socrates tetap relevan: berhenti sejenak, berpikir, dan mencari makna.

Merenungkan tentang kematian bukan berarti bersikap pesimis, melainkan berlatih untuk hidup dengan lebih sadar. Ketika kita menyadari bahwa waktu kita terbatas, kita lebih menghargai setiap detik yang berlalu. Kita lebih sabar, lebih bijaksana, dan lebih menghormati hubungan antar manusia.

Filsafat sebagai Jalan Menuju Kedamaian Batin

Dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian, filsafat memberikan pegangan. Ia mengajarkan bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan (pikiran, tindakan, nilai) dan ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan (usia, penyakit, kematian).

Dengan pemahaman ini, kita bisa menjalani hidup tanpa terlalu gelisah terhadap hal-hal di luar kendali. Kita belajar melepaskan, berdamai, dan akhirnya—mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan tenang, seperti para filsuf sejati.

Kematian Sebagai Bagian dari Filsafat Hidup

Socrates, melalui kutipannya yang menggugah, menantang kita untuk memikirkan ulang posisi kita terhadap kematian. Daripada melihatnya sebagai musuh, kita bisa melihatnya sebagai guru—pengingat bahwa hidup ini adalah anugerah yang singkat, dan karena itu, sangat berharga.

“Orang biasa tampaknya tidak menyadari bahwa mereka yang benar-benar mendalami filsafat dengan cara yang tepat, sesungguhnya sedang mempersiapkan diri mereka untuk menghadapi kematian secara langsung dan sukarela.”

Melalui kutipan ini, kita diajak untuk tidak hanya hidup dalam artian fisik, tetapi benar-benar hadir dan bermakna dalam setiap langkah kita. Dan ketika akhirnya waktu itu tiba, kita dapat menyambutnya bukan dengan ketakutan, tetapi dengan pemahaman, penerimaan, dan kedamaian.