Larangan Memotong Kuku dan Rambut sebelum Ibadah Kurban Ditinjau dari Sisi Psikologis

Ibadah Kurban
Ibadah Kurban
Sumber :
  • IG/alfatihmubarokwisata

Jakarta, WISATA – Tahun ini umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha pada 6 Juni 2025. Selain ibadah sholat Ied, sebelumnya ada ibadah kurban. Ibadah kurban adalah salah satu ritual penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap tahun pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyrik (11-13 Dzulhijjah).

Dalam ibadah kurban ada larangan memotong rambut dan kuku sebelum menyembelih hewan kurban yang didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya. 

Dasar Hukum Larangan adalah berasal dari Hadis, dimana Rasulullah SAW bersabda: 

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

Yang artinya: "Apabila telah masuk sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah ia mengambil (memotong) rambut dan kulitnya (kuku) sedikit pun. (HR. Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).

Larangan ini berlaku bagi orang yang hendak berkurban (bukan untuk seluruh umat Islam). Dimana  waktunya dimulai sejak terbitnya fajar 1 Dzulhijjah hingga hewan kurbannya disembelih (pada hari Idul Adha atau hari Tasyrik).  Namun jika terlanjur memotong kuku, tidak ada kafarah (denda), tetapi sebaiknya bertaubat dan tidak mengulanginya. Sementara itu ibadah kurbannya tetap sah, tetapi ia telah meninggalkan sunnah Nabi SAW. 

Berikut adalah hikmah dari larangan memotong rambut dan kuku:

1. Meneladani Kesabaran dan Ketaatan: Larangan ini mengajarkan kita untuk menahan diri dari hal-hal yang mubah (boleh) sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT, seraya meneladani kesabaran Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. 

2. Menjaga Kesempurnaan Kurban: Dengan tidak memotong rambut dan kuku, seorang muslim seolah-olah menyatukan seluruh dirinya dalam ibadah kurban, menjaga kesucian dan kesempurnaan pengorbanannya. 

3. Tanda Ketaatan dan Kepasrahan: Larangan ini menjadi ujian ketaatan, di mana seorang muslim diminta untuk patuh meski terhadap hal yang tampak kecil. 

Sementara itu dari sisi medis dan psikologis, larangan ini tidak memiliki dasar secara langsung, karena ia lebih bersifat ibadah simbolis dan ketaatan spiritual. Namun, beberapa tinjauan tidak langsung dapat dikaitkan dengan aspek psikologis dan sosial, meskipun ini bukanlah alasan utama larangan tersebut. 

1. Tinjauan Psikologis: Sebagai disiplin diri & pengendalian keinginan, yakni menahan diri dari sesuatu yang biasa dilakukan (seperti memotong kuku/rambut) melatih self-control (pengendalian diri), yang bermanfaat bagi kesehatan mental. Praktik ini mirip dengan konsep puasa atau pantangan tertentu dalam agama lain yang bertujuan menguatkan ketahanan psikologis. 

2. Efek Placebo Positif: Keyakinan bahwa menahan diri dari memotong rambut/kuku akan mendatangkan pahala dapat menimbulkan efek psikologis positif, seperti perasaan tenang dan lebih dekat dengan Tuhan. 

3. Tinjauan Medis (Secara Tidak Langsung): dari sisi medis  tidak memotong kuku atau rambut selama 10 hari tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Namun, jika seseorang memiliki kondisi khusus (misalnya kuku panjang bisa melukai diri atau orang lain), maka Islam memberikan kelonggaran. 

Wallahu a'lam bish-shawab.

 

Sumber: The Psychology of Religion-An Empirical Approac, Al Quran dan Hadis