Albert Camus: “Forever I Shall Be a Stranger to Myself” – Mengenali Diri dalam Ketidakpastian yang Abadi

- Cuplikan layar
"Forever I shall be a stranger to myself."
– Albert Camus
Malang, WISATA - Pernyataan tajam dan melankolis dari Albert Camus ini menyentuh inti dari pencarian manusia yang paling tua dan paling dalam: memahami diri sendiri. Kutipan ini bukan sekadar refleksi pribadi Camus, melainkan cerminan universal tentang bagaimana manusia kerap merasa asing terhadap dirinya sendiri. Dalam dunia yang terus berubah, di tengah pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tak kunjung terjawab, kita semua pernah—atau bahkan sering—merasakan hal yang sama.
Camus, filsuf asal Prancis yang dikenal dengan gagasan absurditasnya, tidak menulis untuk memberikan jawaban, melainkan untuk mendorong kita agar terus bertanya. Kutipan ini menjadi pintu masuk menuju refleksi yang lebih dalam tentang identitas, kesadaran, dan bagaimana kita memaknai keberadaan kita sendiri.
Menjadi Orang Asing bagi Diri Sendiri
Banyak orang berpikir bahwa memahami diri sendiri adalah tujuan hidup. Kita membaca buku pengembangan diri, mencari motivasi, hingga mempelajari kepribadian lewat berbagai tes. Namun Camus, dengan keberanian filosofisnya, justru mengakui bahwa ia akan selamanya menjadi orang asing bagi dirinya sendiri.
Ini adalah bentuk kejujuran yang radikal. Bukan karena Camus tidak mencoba mengenal dirinya, melainkan karena semakin dalam ia menggali, semakin luas jurang ketidaktahuan yang ia temukan. Seolah diri kita bukanlah rumah yang akrab, melainkan seperti kota asing yang terus berubah jalan dan namanya.
Absurdnya Pencarian Identitas
Dalam filsafat Camus, absurditas adalah kondisi manusia ketika berhadapan dengan dunia yang tidak menawarkan jawaban pasti, sementara manusia selalu haus makna. Kutipan ini mencerminkan absurditas yang terjadi di dalam diri kita sendiri. Kita ingin memahami siapa kita, tetapi yang kita temui justru kabut, bayangan, dan pertanyaan-pertanyaan tanpa ujung.
Camus tidak menyarankan kita untuk menyerah. Sebaliknya, ia mengajak kita untuk berdamai dengan kenyataan bahwa mengenal diri bukanlah perjalanan yang punya tujuan akhir. Mungkin tidak ada momen di mana kita bisa berkata: “Aku sepenuhnya mengenal diriku.” Dan itu bukanlah kegagalan, tapi bagian dari kondisi manusia yang sesungguhnya.
Diri yang Terus Berubah
Salah satu alasan mengapa kita sering merasa asing terhadap diri sendiri adalah karena kita bukan entitas yang statis. Kita berubah seiring waktu—oleh pengalaman, trauma, cinta, kegagalan, dan harapan. Hari ini kita bisa yakin akan sesuatu, besok kita bisa mempertanyakannya. Maka wajar jika kadang kita memandang diri sendiri dan merasa seperti melihat orang lain.
Albert Camus mengajarkan bahwa ketidakpastian ini bukan untuk ditakuti, tapi untuk diterima. Justru dalam keraguan dan keasingan itulah kita menemukan dinamika hidup yang sejati. Hidup bukan tentang menemukan satu jati diri yang pasti, tapi tentang menerima bahwa diri kita adalah proses yang tak pernah selesai.
Refleksi yang Membebaskan
Kutipan ini, meskipun terdengar pesimis, sejatinya bisa membebaskan kita. Dalam budaya yang terus-menerus menuntut kejelasan identitas—siapa kamu, apa tujuanmu, apa passion-mu—Camus menawarkan alternatif: tidak apa-apa jika kamu tidak tahu. Tidak apa-apa jika kamu merasa asing terhadap dirimu sendiri. Karena itu adalah pengalaman manusia yang universal.
Menerima bahwa kita tidak selalu mengenal diri sendiri bisa membuka ruang untuk tumbuh, untuk bersikap lembut terhadap diri, dan untuk mengizinkan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari keberadaan.
Hubungan dengan Orang Lain
Merasa asing terhadap diri sendiri juga bisa menjadi jembatan untuk lebih memahami orang lain. Jika kita bisa mengakui bahwa diri kita sendiri sulit dipahami, maka kita pun akan lebih sabar dan empatik terhadap orang-orang yang berjuang memahami dirinya. Kita semua, pada akhirnya, adalah orang asing dalam perjalanan mengenal diri.
Camus tidak menulis untuk mengisolasi, tetapi untuk menghubungkan. Kutipan ini justru menegaskan bahwa pengalaman menjadi asing bagi diri sendiri adalah sesuatu yang sangat manusiawi—dan justru itu bisa menjadi fondasi solidaritas.
Keberanian dalam Ketidaktahuan
Butuh keberanian untuk mengakui bahwa kita tidak tahu siapa diri kita. Dunia sering kali mengagungkan kepastian, keyakinan, dan kontrol. Tapi Camus memilih jalan yang lebih jujur: ia mengakui bahwa dirinya adalah misteri bagi dirinya sendiri, dan ia tetap hidup dengan keberanian dalam ketidaktahuan itu.
Kita pun bisa meneladani sikap ini. Bukan dengan menyerah pada kebingungan, tapi dengan terus melangkah walau tidak punya semua jawabannya. Menjadi asing bagi diri sendiri bukan akhir dari pencarian, melainkan awal dari kebijaksanaan.
Kesimpulan: Menerima Ketidaksempurnaan Diri
Albert Camus mengajarkan kita bahwa menjadi manusia bukan berarti harus selalu mengerti, selalu yakin, atau selalu “tahu” siapa kita. Kadang, menjadi manusia berarti mengakui bahwa kita asing bagi diri sendiri—dan tetap memilih untuk hidup, mencinta, dan berjalan di tengah ketidakpastian itu.
Penerimaan ini bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Ini adalah bentuk kematangan yang memahami bahwa tidak semua hal bisa dikontrol atau dijelaskan, termasuk diri sendiri.
Maka jika suatu hari kamu merasa tidak mengenali siapa dirimu, tidak perlu panik. Itu bukan kegagalan. Itu adalah tanda bahwa kamu sedang benar-benar hidup—seperti Camus, yang dalam keterasingannya, menemukan kedalaman manusia yang sejati.