Marcus Aurelius: Hidup Selaras dengan Diri Sendiri Adalah Hidup Selaras dengan Alam Semesta

- Cuplikan layar
Dalam kehidupan modern, tekanan hidup datang dari berbagai arah: pekerjaan, ekspektasi sosial, media sosial, dan kompetisi. Banyak orang merasa terasing dari dirinya sendiri, karena lebih sering memenuhi harapan orang lain dibanding menjalani hidup berdasarkan nilai dan suara hatinya.
Psikolog klinis, Laksmi Prawita, menjelaskan bahwa banyak pasien yang datang ke ruang konselingnya merasa cemas dan kehilangan arah karena tidak mengenali siapa diri mereka sebenarnya. “Mereka hidup dengan topeng demi menyenangkan orang lain, dan itu membuat mereka makin jauh dari keseimbangan batin. Padahal, fondasi kebahagiaan sejati adalah penerimaan dan keselarasan dengan diri sendiri,” katanya.
Pernyataan Marcus Aurelius menjadi pengingat yang sangat relevan: bahwa ketenangan batin dan penerimaan diri adalah gerbang menuju kehidupan yang harmonis, bukan hanya secara pribadi, tetapi juga dalam relasi sosial, pekerjaan, bahkan dalam hubungan dengan alam.
Harmoni Diri dan Alam Semesta: Sebuah Kesatuan
Konsep Stoik menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta, bukan entitas yang terpisah darinya. Dengan kata lain, ketika seseorang hidup selaras dengan nilai-nilai luhur — seperti kebajikan, kejujuran, dan kebijaksanaan — maka ia sebenarnya sedang hidup dalam harmoni dengan tatanan semesta yang lebih besar.
“Dalam Stoisisme, kehidupan diatur oleh logos, yakni hukum alam yang rasional dan teratur. Ketika seseorang hidup sesuai dengan logos, ia berada dalam arus yang selaras dengan semesta,” jelas Dr. Hendra Kusuma, peneliti filsafat klasik.
Oleh karena itu, hidup dalam harmoni dengan diri sendiri bukan berarti hidup dalam kesendirian atau egoisme, melainkan hidup yang selaras dengan tatanan kosmos — di mana manusia, sesama, dan alam saling terhubung dalam satu kesatuan eksistensial.