Seneca: “Mereka yang Melindungi Orang Jahat Justru Menyakiti Orang Baik”

Seneca
Seneca
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA — Kutipan bijak dari filsuf Stoik Romawi kuno, Lucius Annaeus Seneca, kembali memicu diskusi hangat di kalangan pengamat sosial dan akademisi. Ucapan Seneca, “He who spares the wicked injures the good” atau “Mereka yang melindungi orang jahat justru menyakiti orang baik, menjadi sorotan karena dianggap sangat relevan dalam konteks sosial-politik masa kini, terutama di tengah isu ketidakadilan, impunitas, dan lemahnya penegakan hukum.

Pesan moral yang terkandung dalam kutipan ini menekankan bahwa membiarkan kejahatan tanpa konsekuensi bukanlah bentuk belas kasih, melainkan tindakan yang secara tidak langsung menyakiti orang-orang yang menjunjung nilai kebenaran dan keadilan.

Melindungi yang Salah, Mengorbankan yang Benar

Dalam berbagai kasus, masyarakat menyaksikan bagaimana individu atau kelompok yang melakukan kesalahan besar justru dilindungi oleh sistem kekuasaan atau hukum. Ironisnya, orang-orang baik yang berani bersuara atau melaporkan pelanggaran sering kali malah menjadi korban kriminalisasi.

“Seneca mengingatkan kita akan bahaya ketidakadilan yang terstruktur. Ketika orang jahat dibiarkan bebas tanpa hukuman, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang jujur dan menjunjung etika,” ujar Prof. Drajat Haryono, pakar filsafat politik dari Universitas Indonesia, dalam seminar “Filsafat dan Etika Publik” di Jakarta, Selasa (13/5).

Menurutnya, keberanian untuk menegakkan hukum secara adil harus menjadi pilar utama dalam membangun masyarakat yang sehat. “Memaafkan bukan berarti membiarkan pelaku kejahatan lolos tanpa pertanggungjawaban,” tambahnya.

Relevansi di Tengah Dinamika Hukum Indonesia

Fenomena impunitas masih menjadi tantangan nyata di Indonesia. Dari kasus korupsi hingga pelanggaran HAM, tidak sedikit pelaku yang mendapatkan perlakuan istimewa, bahkan tetap bisa menjalani kehidupan sosial atau politik tanpa beban. Hal ini menciptakan ketimpangan rasa keadilan di masyarakat.

“Ada banyak kasus di mana pelaku kejahatan kerah putih tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, sedangkan rakyat kecil yang bersalah karena terpaksa justru dihukum berat. Ini adalah bentuk nyata dari ucapan Seneca,” kata Wahyu Ramadhan, pengamat kebijakan publik dari Lembaga Studi Antikorupsi.

Wahyu menegaskan bahwa pembiaran terhadap pelaku kejahatan bukan hanya merusak sistem, tapi juga menghancurkan semangat juang masyarakat untuk tetap berbuat baik. “Orang baik bisa menjadi apatis atau bahkan ikut berbuat buruk ketika melihat ketidakadilan menjadi hal yang lumrah.”

Dampak Sosial: Ketika Kebaikan Tidak Lagi Dihargai

Ketika orang jahat diberi tempat, bahkan dilindungi atau dipromosikan, orang baik merasa kehilangan motivasi. Ini bukan sekadar asumsi, tetapi tercermin dari berbagai survei sosial yang menunjukkan meningkatnya ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dan keadilan.

Sebuah survei nasional yang dilakukan pada awal 2025 oleh Lembaga Survei Masyarakat Adil menunjukkan bahwa 63% responden merasa bahwa “berbuat baik di Indonesia tidak dihargai,” dan 71% merasa bahwa “orang jahat lebih mudah berhasil.” Ini menjadi alarm moral yang mengkhawatirkan.

“Kepercayaan publik adalah fondasi sosial yang harus dijaga. Tanpa keadilan, tidak ada motivasi bagi warga untuk berkontribusi secara positif,” ujar Zainal Abidin, peneliti etika publik.

Seneca dan Spirit Keadilan Zaman Modern

Meskipun hidup pada abad pertama Masehi, pemikiran Seneca tetap hidup dan bernilai hingga kini. Filsafat Stoik yang ia ajarkan menekankan pentingnya hidup sesuai dengan kebajikan, rasionalitas, dan keadilan. Dalam konteks saat ini, kutipan tersebut menjadi seruan moral untuk tidak berkompromi terhadap kejahatan.

“Dalam banyak negara yang sukses secara sosial dan ekonomi, prinsip dasar mereka adalah nol toleransi terhadap pelanggaran hukum,” kata Irna Wulandari, aktivis HAM dan pendiri komunitas “Hukum untuk Semua.” Ia menekankan pentingnya keberanian moral dalam menghadapi kejahatan, meskipun datang dari orang-orang berkuasa.

“Jika kita terus membiarkan orang jahat lepas dari tanggung jawab, maka kita sedang mengkhianati orang-orang yang setiap hari berjuang menjaga integritas.”

Pendidikan Karakter dan Penanaman Nilai

Agar pesan moral seperti yang diungkapkan Seneca dapat hidup dalam masyarakat, pendidikan karakter harus dimulai sejak usia dini. Nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk berkata benar perlu ditanamkan secara sistematis di sekolah dan lingkungan keluarga.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Ahmad Taufik, mengatakan bahwa mulai tahun ajaran baru, pihaknya akan memperluas kurikulum pendidikan karakter di tingkat sekolah dasar dan menengah. “Kami ingin membentuk generasi muda yang tidak hanya cerdas, tapi juga punya keberanian moral untuk membela kebenaran,” ujarnya.

Saatnya Memihak yang Baik

Kebijakan publik dan praktik sosial yang memihak kepada kebaikan adalah wujud konkret dari apa yang dikatakan Seneca. Bukan hanya soal menghukum yang jahat, tetapi memastikan bahwa orang baik tidak menjadi korban dari ketidakpedulian dan sistem yang lemah.

“Pemerintah, lembaga hukum, tokoh masyarakat, dan setiap individu punya tanggung jawab untuk tidak diam ketika kejahatan terjadi,” tutup Prof. Drajat. “Karena diam terhadap kejahatan sama saja dengan merestuinya.”

Kutipan Seneca bukan hanya filosofi kuno, melainkan panggilan abadi untuk berpihak pada kebenaran. Saat kita memilih untuk tidak bertindak terhadap kejahatan, kita sedang mencederai mereka yang telah memilih jalan kebaikan.