Epictetus: Rintangan Boleh Menghambat Tubuh, Tapi Tidak Kehendak

Epictetus
Epictetus
Sumber :
  • Cuplikan layar

Jakarta, WISATA – Ketika sakit, cedera, atau kondisi fisik lain menghambat aktivitas kita, mudah sekali merasa tak berdaya. Namun, seorang filsuf Stoik dari Yunani, Epictetus, mengajarkan bahwa kendali atas kehendak dan sikap tetap sepenuhnya ada di tangan kita—tidak peduli seberat apa pun keadaan fisik kita.

Dalam salah satu pengingatnya yang kuat, Epictetus berkata:

“Penyakit adalah hambatan bagi tubuh, bukan bagi kehendak—kecuali jika kehendak itu sendiri yang mengizinkannya. Kelumpuhan adalah hambatan bagi kaki, bukan bagi kehendak. Dan katakan ini pada dirimu sendiri untuk segala hal yang terjadi. Karena kamu akan mendapati bahwa itu menjadi hambatan bagi sesuatu, tapi bukan bagi dirimu yang sejati.”

Membedakan Tubuh dan Kehendak

Apa sebenarnya yang dimaksud Epictetus? Ia ingin mengajak kita menyadari bahwa manusia terdiri dari dua bagian: tubuh dan kehendak (atau pikiran). Tubuh kita bisa lemah, bisa sakit, atau terbatas oleh faktor usia dan lingkungan. Namun kehendak—yaitu kemampuan kita untuk memilih bagaimana bersikap—adalah milik kita sepenuhnya.

Contoh sederhana: seseorang yang mengalami kelumpuhan mungkin tidak bisa berjalan, tetapi tetap bisa menunjukkan ketabahan, keceriaan, bahkan memberikan inspirasi bagi banyak orang. Inilah yang dimaksud Epictetus—rintangan fisik tidak harus menjadi rintangan batin.

Filosofi yang Relevan Sepanjang Zaman

Ajaran ini bukan hanya berlaku di masa Yunani Kuno. Di zaman modern, banyak tokoh yang hidup dengan keterbatasan fisik tetapi menunjukkan kekuatan kehendak luar biasa. Nama-nama seperti Stephen Hawking, Nick Vujicic, hingga atlet paralimpiade adalah contoh nyata bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi kebesaran jiwa.

Dalam konteks masyarakat biasa, seseorang yang kehilangan pekerjaan, menghadapi penyakit, atau gagal dalam usaha, tetap bisa memilih untuk bersikap sabar, gigih, dan terus berusaha. Karena pada akhirnya, sikap kitalah yang membentuk siapa diri kita, bukan kondisi fisik atau keadaan eksternal.

Mengembalikan Kendali ke Dalam Diri

Filosofi Stoik mengajarkan bahwa hal-hal di luar diri kita tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Namun, kita memiliki kekuasaan penuh atas kehendak, reaksi, dan pilihan kita. Saat kita memusatkan perhatian ke dalam—alih-alih menyalahkan keadaan luar—maka kita mengambil kembali kendali atas hidup kita.

Epictetus menekankan bahwa penderitaan yang kita rasakan bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, tapi dari cara kita memandangnya. Bila kita melatih diri untuk melihat penderitaan sebagai latihan, tantangan, atau bagian dari takdir yang harus dijalani dengan tabah, maka kita menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah goyah.

Menolak Jadi Korban

Salah satu pesan penting dari kutipan ini adalah dorongan untuk tidak menjadi korban keadaan. Kita bisa menderita tanpa merasa teraniaya. Kita bisa menghadapi kesulitan tanpa merasa tak berdaya. Kunci utamanya adalah kesadaran bahwa kita masih punya kehendak, dan kehendak itu tidak bisa dirampas—kecuali kita sendiri yang menyerahkannya.

Epictetus menolak gagasan bahwa manusia adalah korban dari nasib. Ia percaya bahwa setiap orang bisa memilih untuk menjalani hidup dengan martabat, integritas, dan keteguhan, tidak peduli seberapa buruk kondisi luarnya.

Latihan Harian untuk Jiwa yang Tangguh

Epictetus mengajak kita untuk menjadikan kesadaran ini sebagai latihan harian. Setiap kali kita menghadapi tantangan, tanyakan pada diri: “Apa yang sebenarnya terhambat? Apakah jiwaku ikut lumpuh? Ataukah hanya tubuhku yang sedang diuji?”

Dengan pertanyaan ini, kita mulai membangun mentalitas tangguh. Kita tidak lagi mudah dikalahkan oleh sakit, penolakan, atau kegagalan. Kita belajar membedakan antara penderitaan fisik dan kekuatan batin.

Penutup: Kebebasan Sejati Ada di Dalam

Pada akhirnya, ajaran Epictetus menyentuh pada inti Stoisisme: bahwa kebebasan sejati adalah kebebasan batin. Tubuh kita bisa dibatasi, dunia bisa tidak adil, tetapi selama kita menjaga kehendak dan sikap, kita tetap merdeka.

Kutipan ini adalah pengingat kuat bahwa siapa pun kita, dalam kondisi apa pun, tetap punya kuasa atas diri kita. Dan selama kita memilih untuk tetap tegar, maka tidak ada rintangan yang benar-benar mampu menjatuhkan kita.