Rendah Hati dalam Menerima, Ikhlas dalam Melepas: Pelajaran Abadi dari Marcus Aurelius

- thoughtco.com
Jakarta, WISATA — Dalam dunia yang terus berubah, penuh ambisi, tekanan, dan pencapaian yang dinilai berdasarkan ukuran material atau popularitas, filsafat Stoik tetap relevan dan menenangkan. Salah satu ajaran paling mendalam dari Marcus Aurelius, kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoa, adalah: “Terima tanpa kesombongan, lepaskan tanpa keterikatan.”
Kalimat sederhana ini memiliki bobot makna yang luar biasa. Di tengah kehidupan yang penuh pasang surut, Marcus mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati dalam menerima segala bentuk kebaikan dan pencapaian, serta ikhlas dalam melepaskan apa pun yang tidak lagi menjadi bagian dari hidup kita.
Menerima Tanpa Kesombongan
Banyak orang merasa bangga luar biasa saat menerima pujian, jabatan, kekayaan, atau keberhasilan. Tidak jarang pula, rasa bangga itu berubah menjadi kesombongan. Padahal, dalam perspektif Stoik, semua hal yang bersifat eksternal—termasuk harta, kekuasaan, bahkan status sosial—adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita dan bersifat sementara.
Ryan Holiday, penulis buku Ego is the Enemy, mengutip ajaran Marcus ini sebagai landasan hidup yang seimbang. “Tidak peduli seberapa sukses kita, semua itu tidak boleh membuat kita kehilangan kendali diri,” ujar Holiday. Ia menambahkan bahwa sukses yang tidak disertai kerendahan hati bisa menjadi jebakan ego yang merusak.
Dalam konteks dunia kerja, promosi atau penghargaan seharusnya diterima dengan rasa syukur, bukan dengan angkuh. Sebab, seperti yang ditulis Marcus, tidak ada yang benar-benar “milik” kita. Semua hanyalah titipan, termasuk keberhasilan.
Melepas Tanpa Keterikatan
Jika kita belajar menerima dengan rendah hati, kita juga harus belajar melepas dengan lapang dada. Inilah bagian yang seringkali jauh lebih sulit. Entah itu kegagalan, kehilangan orang tercinta, atau berakhirnya sebuah fase hidup, kita cenderung melekat pada apa yang sudah kita miliki. Marcus mengingatkan bahwa keterikatan pada hal-hal eksternal hanya akan membawa penderitaan.
“Everything is ephemeral,” tulis Marcus dalam Meditations. Semua yang kita miliki hari ini bisa hilang besok. Oleh karena itu, kita diajak untuk menanamkan sikap ikhlas dalam menghadapi kehilangan—tanpa amarah, tanpa kesedihan yang merusak, dan tanpa menyalahkan siapa pun.
Dalam tradisi Stoik, ikhlas bukan berarti pasrah tanpa usaha, melainkan menerima kenyataan dengan bijaksana. Kita tetap berusaha sebaik mungkin, namun bersiap untuk menerima apa pun hasilnya tanpa mengaitkannya pada harga diri atau makna hidup kita.
Jangan Goyah oleh Pujian atau Cemoohan
Kutipan Marcus ini juga mengingatkan kita untuk tidak terombang-ambing oleh opini orang lain. Baik pujian maupun hinaan, jika diterima secara berlebihan, bisa menggeser kita dari inti karakter sejati. Marcus menyebutnya sebagai “suara lidah yang bertepuk tangan”—tidak substansial dan tidak menentukan nilai diri seseorang.
Ryan Holiday menyebut bahwa ketenangan batin datang ketika kita bisa membebaskan diri dari kebutuhan akan validasi eksternal. “Jika kamu tidak bisa mengabaikan pujian, maka kamu tidak akan kuat menghadapi hinaan,” tulisnya dalam Stillness is the Key.
Praktik Harian: Melatih Hati dan Pikiran
Untuk menjadikan prinsip ini sebagai gaya hidup, para praktisi Stoik modern—termasuk tokoh seperti Tim Ferriss, Massimo Pigliucci, dan Ryan Holiday—menganjurkan praktik harian berupa jurnal refleksi. Dalam jurnal tersebut, seseorang bisa menuliskan hal-hal yang disyukuri, keberhasilan dan kegagalan yang terjadi, serta bagaimana perasaannya terhadap semua itu.
Dengan begitu, kita dilatih untuk mengamati diri sendiri tanpa menghakimi, menerima keberuntungan tanpa kesombongan, dan mengikhlaskan kehilangan tanpa keterikatan.
Ajaran yang Membebaskan
Dalam dunia yang semakin materialistis, ajaran Marcus Aurelius justru terasa seperti angin segar. Ia tidak menawarkan formula cepat untuk kebahagiaan, melainkan mengajak kita untuk menguatkan karakter, memperdalam kesadaran, dan hidup selaras dengan nilai-nilai abadi.
Kehidupan modern seringkali membuat kita terpaku pada pencapaian dan pengakuan, tetapi Marcus mengingatkan: apa yang kita capai tidak akan bertahan selamanya, dan hanya karakter kitalah yang akan menentukan kualitas hidup sejati.
Penutup: Tetap Teguh di Tengah Perubahan
Dengan kata lain, kunci hidup yang tenang bukanlah dengan menghindari perubahan, melainkan dengan mengubah cara kita merespons perubahan. Terimalah kebaikan tanpa menjadi sombong. Relakan kehilangan tanpa menjadi pahit. Sebab, yang benar-benar milik kita bukanlah hasil dari dunia luar, melainkan reaksi kita terhadapnya.
Dalam hidup, sukses dan gagal hanyalah sisi berbeda dari koin yang sama. Namun, karakter kita—itulah yang menentukan siapa kita sebenarnya