Epikuros: Kepuasan Hidup Tidak Terletak pada Jumlah, Melainkan pada Rasa Cukup

Epikuros (341–270 SM)
Epikuros (341–270 SM)
Sumber :
  • Image Creator Grok/Handoko

“Ia yang tidak puas dengan sedikit, tidak akan puas dengan apa pun.”
Epikuros

Jakarta, WISATA — Di era modern yang sarat dengan konsumerisme dan dorongan tak berujung untuk memiliki lebih banyak, kutipan filsuf Yunani kuno, Epikuros, kembali menjadi pengingat yang relevan dan menggugah hati. Dengan kalimat sederhana namun mendalam, Epikuros menegaskan bahwa kepuasan hidup tidak bergantung pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi pada kemampuan untuk merasa cukup.

Pernyataan itu menyiratkan bahwa orang yang tidak bisa merasa puas dengan hal kecil atau sedikit, pada akhirnya tidak akan pernah merasa puas, bahkan ketika memiliki segalanya. Ketidakpuasan menjadi perangkap batin yang membuat manusia terus mengejar sesuatu yang tak berujung, bagaikan berlari dalam lingkaran tanpa garis akhir.

Epikuros dan Filosofi Kehidupan Sederhana

Epikuros (341–270 SM), dikenal sebagai salah satu filsuf yang paling berpengaruh dari Yunani Kuno, memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan cara pandang dunia modern saat ini. Baginya, kebahagiaan berasal dari hal-hal sederhana: persahabatan, kebebasan berpikir, hidup sesuai alam, dan yang terpenting, memiliki rasa cukup.

Dalam ajarannya, Epikuros menyatakan bahwa keinginan manusia terbagi menjadi tiga: keinginan alami dan perlu (seperti makanan dan tempat tinggal), keinginan alami tapi tidak perlu (seperti makanan mewah), serta keinginan yang sia-sia (seperti kekuasaan dan ketenaran). Ia menegaskan bahwa mengejar keinginan yang sia-sia justru mengganggu ketenangan jiwa dan menjerumuskan kita ke dalam kecemasan tanpa akhir.

Ketidakpuasan: Sumber Utama Ketidakbahagiaan

Ketidakpuasan adalah akar dari banyak masalah psikologis modern. Rasa tidak pernah cukup menjadi pemicu stres, kecemasan, dan bahkan depresi. Dalam masyarakat digital, di mana segala hal bisa dibandingkan dan diakses hanya dalam genggaman, tekanan untuk selalu lebih baik, lebih kaya, lebih cantik, dan lebih sukses menjadi beban mental yang sangat berat.

Media sosial memperparah keadaan ini. Kita tidak hanya membandingkan diri kita dengan tetangga atau teman, tapi juga dengan kehidupan glamor yang dipamerkan selebriti dan influencer. Ketika standar kebahagiaan diukur berdasarkan jumlah pengikut, likes, dan barang-barang mewah yang dipamerkan, maka tidak heran jika banyak orang merasa selalu kekurangan, meskipun kenyataannya mereka memiliki lebih dari cukup.

Mengapa Rasa Cukup Sangat Penting?

Rasa cukup adalah pondasi dari kedamaian batin. Ketika seseorang mampu menerima keadaan, menghargai hal-hal kecil, dan tidak terjebak dalam kerakusan, maka ia akan merasa lebih tenang dan bahagia. Epikuros mengajarkan bahwa mereka yang bisa puas dengan sedikit adalah orang-orang yang merdeka secara mental.

Orang yang merasa cukup tidak mudah tergoda oleh godaan pasar atau tren sesaat. Ia tidak terombang-ambing oleh standar kesuksesan yang ditentukan oleh orang lain. Sebaliknya, ia hidup sesuai dengan nilai dan kebutuhannya sendiri, bukan keinginannya.

Ketika "Lebih Banyak" Justru Menjadi Beban

Dalam banyak kasus, kepemilikan yang berlebihan justru menimbulkan kekhawatiran baru. Memiliki banyak properti bisa berarti beban pajak yang lebih besar, tanggung jawab pemeliharaan yang lebih rumit, dan kecemasan akan kehilangan. Hidup yang dipenuhi oleh barang dan ambisi bisa menjadi penjara tak kasat mata yang mengekang kebebasan sejati seseorang.

Sebaliknya, mereka yang hidup sederhana dengan kebutuhan minimal sering kali merasakan kebebasan yang lebih besar. Mereka tidak tergantung pada pengakuan orang lain atau kekayaan materi untuk merasa berharga.

Menumbuhkan Kepuasan Diri di Tengah Budaya Materialistik

Menumbuhkan rasa puas di tengah masyarakat yang sangat konsumtif tentu bukan perkara mudah. Namun bukan berarti mustahil. Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan:

1.     Latih bersyukur setiap hari
Catat tiga hal yang membuat Anda bersyukur setiap harinya. Ini membantu membangun kesadaran bahwa hidup Anda sudah penuh berkah.

2.     Kurangi eksposur media sosial
Luangkan waktu tanpa media sosial untuk mengurangi tekanan sosial yang tidak perlu.

3.     Hidup sesuai kebutuhan, bukan keinginan
Belilah barang karena memang dibutuhkan, bukan karena sedang tren.

4.     Praktikkan hidup minimalis
Fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Barang lebih sedikit bisa berarti ruang dan waktu yang lebih luas untuk hal-hal bermakna.

5.     Renungkan nilai-nilai hidup
Apa yang sebenarnya penting bagi Anda? Kekayaan, atau kedamaian batin?

Relevansi untuk Masyarakat Indonesia

Di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat, masyarakat semakin terpapar pada gaya hidup konsumtif. Dari kota besar hingga pedesaan, gaya hidup instan dan kompetisi status sosial menjadi fenomena yang kian merata. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam pola pikir bahwa bahagia itu harus kaya secara materi.

Padahal, seperti kata Epikuros, jika seseorang tidak puas dengan sedikit, maka tidak ada hal apa pun yang bisa memuaskannya. Maka dari itu, pendidikan tentang kecukupan, kesadaran diri, dan pengendalian keinginan perlu menjadi bagian penting dalam kurikulum dan kehidupan sehari-hari.

Menutup dengan Kebijaksanaan

Epikuros bukan mengajak manusia untuk meninggalkan kemajuan atau hidup dalam kemiskinan, tetapi untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari luar. Kita harus mampu membedakan antara apa yang benar-benar penting dan apa yang hanya ilusi keinginan sesaat.

“Ia yang tidak puas dengan sedikit, tidak akan puas dengan apa pun.”

Kutipan ini adalah cermin yang memantulkan kebenaran universal tentang manusia: bahwa kepuasan bukan berasal dari apa yang dimiliki, melainkan dari bagaimana kita memaknai dan menerima hidup kita. Di tengah dunia yang terus berubah dan menuntut lebih banyak, mari kita temukan ketenangan dalam rasa cukup.