“Semua Manusia Secara Alami Ingin Mengetahui": Landasan Pengetahuan dari Aristoteles hingga Filsuf Muslim

Aristoteles dan Ibnu Rusyd (ilustrasi)
Sumber :
  • Image Creator/Handoko

Al-Farabi, seorang filsuf Muslim yang hidup pada abad ke-10, dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles. Gelar ini mencerminkan dedikasinya dalam mempelajari, menginterpretasi, dan mengembangkan pemikiran Aristoteles.

Al-Farabi setuju dengan gagasan Aristoteles bahwa manusia secara alami ingin mengetahui. Namun, ia menambahkan dimensi spiritual dalam pemikiran ini. Baginya, dorongan manusia untuk mencari pengetahuan adalah bagian dari fitrah yang diberikan oleh Tuhan. Dengan memahami alam semesta, manusia tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Dalam karyanya Al-Madina Al-Fadhila (Kota Utama), Al-Farabi menjelaskan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan tertinggi. Ia percaya bahwa ilmu dan kebajikan harus berjalan seiring, dan bahwa pencarian pengetahuan adalah bentuk ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhan.

Ibnu Sina: Pengetahuan sebagai Jembatan Menuju Tuhan

Ibnu Sina, atau Avicenna, adalah filsuf dan ilmuwan Muslim yang hidup pada abad ke-11. Ia juga sangat terinspirasi oleh gagasan Aristoteles. Dalam karya monumentalnya, Kitab Al-Syifa (Buku Penyembuhan), Ibnu Sina mengembangkan teori pengetahuan yang menggabungkan logika Aristoteles dengan prinsip-prinsip Islam.

Ibnu Sina percaya bahwa pencarian pengetahuan adalah proses bertahap yang dimulai dari pengamatan indrawi, dilanjutkan dengan analisis logis, dan diakhiri dengan pencerahan intelektual. Proses ini, menurutnya, adalah jalan untuk memahami alam semesta sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan.

Baginya, setiap penemuan ilmiah atau filsafat yang sejati adalah manifestasi dari kebijaksanaan ilahi. Ia melihat tidak ada konflik antara agama dan sains, tetapi justru keduanya saling melengkapi.