Rahasia Kebahagiaan Menurut Aristoteles: Mengapa Eudaimonia Lebih dari Sekadar Bahagia?
- Handoko/Istimewa
Jakarta, WISATA – Ketika berbicara tentang kebahagiaan, banyak orang yang menganggapnya sebagai perasaan senang atau kepuasan sesaat. Namun, filsuf Yunani kuno, Aristoteles, memiliki pandangan yang jauh lebih dalam tentang konsep kebahagiaan. Dalam teori etika yang diajarkannya, Aristoteles memperkenalkan konsep "Eudaimonia"—sebuah istilah yang sering diterjemahkan sebagai kebahagiaan, tetapi sebenarnya berarti lebih dari itu. Eudaimonia mencakup kehidupan yang bermakna, berbudi luhur, dan penuh pemenuhan yang lebih berkelanjutan daripada sekadar kebahagiaan sementara. Artikel ini akan membahas mengapa Eudaimonia menurut Aristoteles jauh lebih kompleks daripada apa yang biasanya kita pahami sebagai kebahagiaan.
Apa Itu Eudaimonia?
Aristoteles mendefinisikan Eudaimonia sebagai “aktivitas jiwa sesuai dengan kebajikan,” yang berarti bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya ditemukan dalam kesenangan atau kekayaan, tetapi dalam menjalani kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai moral yang baik. Aristoteles meyakini bahwa Eudaimonia adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia, sesuatu yang setiap individu kejar sepanjang hidup mereka. Berbeda dengan kebahagiaan yang bersifat sementara, Eudaimonia bersifat abadi dan mencerminkan kesejahteraan pribadi yang terpenuhi sepenuhnya.
Menurut Aristoteles, untuk mencapai Eudaimonia, seseorang harus mengembangkan dan menerapkan kebajikan-kebajikan, seperti keadilan, keberanian, dan kebijaksanaan. Hal ini memerlukan komitmen yang konsisten untuk menjalani kehidupan yang bermoral dan berintegritas. Jadi, Eudaimonia bukanlah kondisi emosional sesaat, melainkan kondisi yang muncul dari cara kita hidup sehari-hari.
Mengapa Eudaimonia Lebih dari Sekadar Bahagia?
Kebahagiaan, seperti yang dipahami kebanyakan orang, sering dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan, seperti mendapatkan promosi, memiliki rumah mewah, atau memiliki hubungan yang harmonis. Namun, Aristoteles percaya bahwa ini hanya aspek kecil dari kehidupan bahagia. Eudaimonia lebih dari sekadar merasa baik; ini tentang menjadi baik. Hidup dengan kebajikan mengarah pada Eudaimonia, yang mencakup pencapaian tertinggi sebagai manusia, baik dalam diri maupun dalam relasi kita dengan orang lain.
Mengapa hal ini penting? Karena kebahagiaan sementara dapat berkurang dengan cepat setelah perasaan senang tersebut hilang. Misalnya, seseorang yang merasa senang setelah memenangkan lotre mungkin merasa kecewa beberapa bulan kemudian jika mereka tidak tahu cara menangani kekayaan tersebut. Di sisi lain, mereka yang mencapai Eudaimonia memiliki fondasi yang lebih kuat, karena kebahagiaan mereka tidak bergantung pada faktor eksternal, tetapi pada kehidupan yang bermoral dan tujuan yang lebih tinggi.
Hubungan antara Kebajikan dan Kebahagiaan
Aristoteles menekankan bahwa kebajikan adalah kunci utama menuju Eudaimonia. Menurutnya, kebajikan adalah kemampuan untuk bertindak dengan cara yang benar dalam situasi apa pun. Misalnya, keberanian adalah kebajikan yang memungkinkan seseorang untuk bertindak berani ketika dihadapkan dengan bahaya, sementara kehati-hatian menghindari sikap sembrono. Keduanya, meski tampak bertolak belakang, berkontribusi terhadap kehidupan yang bermakna, karena seseorang yang bijaksana tahu kapan harus bertindak berani dan kapan harus berhati-hati.
Ini berarti bahwa mencapai Eudaimonia membutuhkan keseimbangan antara berbagai kebajikan. Aristoteles menggambarkan konsep ini sebagai "jalan tengah emas"—yaitu keseimbangan antara ekstrem. Kebahagiaan, dalam pandangan Aristoteles, bukanlah tentang berlebihan dalam satu hal, tetapi tentang menemukan jalan tengah yang ideal dalam semua aspek kehidupan.
Pentingnya Rasionalitas dan Kehidupan yang Kontemplatif
Selain kebajikan, Aristoteles juga menekankan pentingnya rasionalitas dalam mencapai Eudaimonia. Sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk berpikir secara rasional, dan Aristoteles percaya bahwa penggunaan akal budi adalah aspek penting dari kebahagiaan sejati. Dengan kata lain, kebahagiaan sejati tidak hanya terkait dengan perasaan emosional, tetapi juga dengan bagaimana kita menggunakan pikiran kita.
Dia berpendapat bahwa kehidupan yang terbaik adalah kehidupan yang penuh kontemplasi—artinya, kehidupan yang diisi dengan refleksi tentang kebenaran dan kebajikan. Dalam kontemplasi ini, kita menemukan kedamaian batin dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dan tempat kita di dalamnya. Aristoteles percaya bahwa manusia yang menjalani kehidupan yang berfokus pada kontemplasi dan pengembangan intelektual akan lebih mampu mencapai Eudaimonia daripada mereka yang hanya mengejar kenikmatan fisik atau kekayaan material.
Bagaimana Eudaimonia Berlaku dalam Kehidupan Modern?
Meskipun teori Eudaimonia Aristoteles sudah berusia ribuan tahun, konsep ini tetap relevan dalam kehidupan modern. Dalam masyarakat yang sering kali fokus pada kesuksesan material dan kepuasan instan, banyak orang merasa tidak puas meskipun telah mencapai tujuan-tujuan duniawi mereka. Aristoteles mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada hal-hal eksternal, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup kita setiap hari.
Dalam kehidupan yang serba cepat ini, penting untuk merenungkan apakah kebahagiaan kita bergantung pada hal-hal sementara atau apakah kita sudah membangun fondasi kehidupan yang lebih bermakna melalui tindakan-tindakan yang berbudi luhur. Aristoteles mendorong kita untuk berpikir lebih dalam tentang apa yang membuat hidup kita berarti dan bagaimana kita bisa mencapai kebahagiaan sejati yang lebih dari sekadar perasaan senang.