Racun Tikus telah Menghancurkan Rantai Makanan dan Mengancam Predator di Tingkat Tertinggi
- pixabay
Malang, WIsata – Tikus berkembang biak di sekitar manusia, karena alasan yang tepat: Mereka memakan tanaman dan sampah dan mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan, mulai dari pertanian hingga kota-kota terbesar di dunia. Untuk mengendalikannya, orang sering menggunakan racun. Namun, bahan kimia yang membunuh tikus juga dapat membahayakan hewan lain.
Racun yang paling umum digunakan disebut rodentisida antikoagulan. Racun ini bekerja dengan cara mengganggu pembekuan darah pada hewan yang memakannya. Umpan yang beraroma menggoda ini diletakkan di luar gedung, dalam kotak hitam kecil yang hanya bisa dimasuki tikus. Namun, racun tersebut tetap berada di dalam tubuh hewan pengerat, sehingga mengancam hewan yang lebih besar yang memangsa mereka.
Para peneliti mendeteksi rodentisida pada sekitar sepertiga hewan dalam analisis ini, termasuk kucing hutan, rubah dan musang. Mereka secara langsung menghubungkan racun tersebut dengan kematian sepertiga hewan yang mati, biasanya, dengan menemukan bahan kimia tersebut di jaringan hati hewan.
Sebagian besar racun yang dideteksi oleh penelitian ini adalah apa yang disebut rodentisida antikoagulan generasi kedua, yang dikembangkan sejak tahun 1970. Produk ini digunakan secara eksklusif di daerah pemukiman dan perkotaan dan dapat membunuh tikus setelah makan semalam saja. Rodentisida generasi pertama, yang biasanya hanya digunakan di peternakan, memerlukan beberapa dosis untuk membunuh.
Racun ini tersedia secara luas, dan penggunaannya sebagian besar tidak diatur di sebagian besar negara. Penggunaan rodentisida diproyeksikan akan meningkat dan dapat menyebabkan penurunan pada banyak spesies karnivora di seluruh dunia.
Bila hewan liar mengonsumsi racun tikus biasanya dengan memakan tikus yang diracuni, efeknya dapat berupa pendarahan dan luka dalam, kelesuan dan respons imun yang menurun, yang dapat membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit lain. Dalam banyak kasus, hewan tersebut akan mati. Terkadang kematian ini terjadi dalam skala yang cukup besar untuk mengurangi populasi predator lokal.
Pada sebuah penelitian, disusun daftar 34 spesies yang diketahui terpapar racun tikus. Spesies tersebut meliputi anggota keluarga musang dan anjing, seperti cerpelai, musang barat, dan rubah merah, beserta kucing liar dan karnivora lainnya.
Beberapa predator ini, seperti singa gunung dan serigala abu-abu, biasanya tidak memburu hewan pengerat. Rodentisida bahkan telah terdeteksi pada predator semiakuatik seperti berang-berang sungai, yang biasanya memakan krustasea dan ikan.
Kemungkinan besar karnivora besar seperti serigala mengonsumsi racun tikus dengan memakan karnivora beracun lainnya, seperti rakun dan kucing hutan.
Pergerakan racun ke atas rantai makanan disebut bioakumulasi. Dalam contoh yang paling terkenal, elang botak dan burung pemangsa lainnya terpapar pestisida DDT pada ikan yang mereka konsumsi sebelum AS melarang DDT pada tahun 1972. Banyak spesies yang terkena dampak, termasuk elang botak, elang laut, dan elang peregrine, berkurang drastis selama bertahun-tahun karena dampak DDT pada populasi mereka.
Tikus merusak properti, mencemari makanan, dan menyebarkan penyakit, sehingga mengendalikannya merupakan masalah kesehatan manusia. Namun, penelitian menambah bukti bahwa diperlukan metode pengendalian yang lebih baik untuk mengurangi kebutuhan akan rodentisida antikoagulan
Malang, WIsata – Tikus berkembang biak di sekitar manusia, karena alasan yang tepat: Mereka memakan tanaman dan sampah dan mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan, mulai dari pertanian hingga kota-kota terbesar di dunia. Untuk mengendalikannya, orang sering menggunakan racun. Namun, bahan kimia yang membunuh tikus juga dapat membahayakan hewan lain.
Racun yang paling umum digunakan disebut rodentisida antikoagulan. Racun ini bekerja dengan cara mengganggu pembekuan darah pada hewan yang memakannya. Umpan yang beraroma menggoda ini diletakkan di luar gedung, dalam kotak hitam kecil yang hanya bisa dimasuki tikus. Namun, racun tersebut tetap berada di dalam tubuh hewan pengerat, sehingga mengancam hewan yang lebih besar yang memangsa mereka.
Para peneliti mendeteksi rodentisida pada sekitar sepertiga hewan dalam analisis ini, termasuk kucing hutan, rubah dan musang. Mereka secara langsung menghubungkan racun tersebut dengan kematian sepertiga hewan yang mati, biasanya, dengan menemukan bahan kimia tersebut di jaringan hati hewan.
Sebagian besar racun yang dideteksi oleh penelitian ini adalah apa yang disebut rodentisida antikoagulan generasi kedua, yang dikembangkan sejak tahun 1970. Produk ini digunakan secara eksklusif di daerah pemukiman dan perkotaan dan dapat membunuh tikus setelah makan semalam saja. Rodentisida generasi pertama, yang biasanya hanya digunakan di peternakan, memerlukan beberapa dosis untuk membunuh.
Racun ini tersedia secara luas, dan penggunaannya sebagian besar tidak diatur di sebagian besar negara. Penggunaan rodentisida diproyeksikan akan meningkat dan dapat menyebabkan penurunan pada banyak spesies karnivora di seluruh dunia.
Bila hewan liar mengonsumsi racun tikus biasanya dengan memakan tikus yang diracuni, efeknya dapat berupa pendarahan dan luka dalam, kelesuan dan respons imun yang menurun, yang dapat membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit lain. Dalam banyak kasus, hewan tersebut akan mati. Terkadang kematian ini terjadi dalam skala yang cukup besar untuk mengurangi populasi predator lokal.
Pada sebuah penelitian, disusun daftar 34 spesies yang diketahui terpapar racun tikus. Spesies tersebut meliputi anggota keluarga musang dan anjing, seperti cerpelai, musang barat, dan rubah merah, beserta kucing liar dan karnivora lainnya.
Beberapa predator ini, seperti singa gunung dan serigala abu-abu, biasanya tidak memburu hewan pengerat. Rodentisida bahkan telah terdeteksi pada predator semiakuatik seperti berang-berang sungai, yang biasanya memakan krustasea dan ikan.
Kemungkinan besar karnivora besar seperti serigala mengonsumsi racun tikus dengan memakan karnivora beracun lainnya, seperti rakun dan kucing hutan.
Pergerakan racun ke atas rantai makanan disebut bioakumulasi. Dalam contoh yang paling terkenal, elang botak dan burung pemangsa lainnya terpapar pestisida DDT pada ikan yang mereka konsumsi sebelum AS melarang DDT pada tahun 1972. Banyak spesies yang terkena dampak, termasuk elang botak, elang laut, dan elang peregrine, berkurang drastis selama bertahun-tahun karena dampak DDT pada populasi mereka.
Tikus merusak properti, mencemari makanan, dan menyebarkan penyakit, sehingga mengendalikannya merupakan masalah kesehatan manusia. Namun, penelitian menambah bukti bahwa diperlukan metode pengendalian yang lebih baik untuk mengurangi kebutuhan akan rodentisida antikoagulan